Tampilkan postingan dengan label Numismatika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Numismatika. Tampilkan semua postingan

18 Maret 2016

Koleksi Antik Investasi Numismatik - Harian Analisa

Koleksi Antik Investasi Numismatik - Harian Analisa


UANG koin pecahan kecil, misalnya Rp500 dan Rp200, bahkan yang terkecil saat ini Rp100, sering kita anggap tidak bernilai. Kembalian dari belanja, ketiga pecahan keci itu pun berserak di dalam laci, di atas meja rias, atau malah tersapu sebagai sampah. Padahal, sesuatu yang kita anggap tidak berharga, pada saatnya bisa saja menjadi tiada tara nilainya. Pernahkan terpikir oleh kita untuk mengumpulkannya pada satu tempat, lalu disimpan tak ubahnya menyimpan perhiasan?

Kita memang sering mengabaikan hal-hal kecil tersebut, namun tidak pada koin mata uang negara jiran. Pecahan sekecil apapun dari mata uang asing, lebih kita hargai dan disimpan meskipun hanya sekadar untuk benda suvenir. Perbedaan perlakuan ini sah-sah saja.

Koin rupiah maupun koin asing sesungguhnya punya nilai yang sama di mata kolektor. Yang membedakan nilainya, hanya pada tahun pembuatan, kelangkaan (limited edition), kondisi benda, dan bahan bakunya. Bagi kolektor, uang kertas maupun berbentuk koin yang diterbitkan tahun tertentu bisa bernilai jual ‘wah’ dan sangat menggiurkan. Apalagi yang sudah langka dan berbahan logam mulia.

“Bisa tinggi nilainya. Untuk jenis koin tertentu maupun uang kertas yang bernomor seri berurut. Tapi hobi numismatik kadang tidak berpatokan pada nilai jual, sebab sebuah hobi tentu nilai kebahagiaannya relatif tergantung pada orangnya,” ungkap Ketua Perhimpunan Filateli Indonesia (PFI) Sumatera Utara, Lukman Yanis, kepada Analisa saat menggelar pameran di Kantor Pos Medan pertengahan November lalu.

Sekarang, imbuh Yanis, tidak hanya benda koleksi numismatiknya saja yang langka. Para kolektornya juga semakin sedikit. Kalaupun masih tersebar di Sumut, kebanyakan mereka lebih memilih untuk tidak berhimpun pada sebuah perkumpulan/organisasi layaknya di PFI.

Motivasi Iseng
Banyak orang menjadi numismatis bukan karena termotivasi pada awalnya. Ia hanya tidak sengaja memiliki beberapa lembar mata uang atau pun koin lama. Ada pula kalangan filatelis yang tidak kalah iseng untuk mengumpulkan benda-benda numismatik – berasal dari bahasa Latin, numisma yang artinya uang logam. Kini, papar Yasin, numismatis tidak terpaku pada koin semata, uang kertas juga dijadikan koleksinya.

Sama halnya, karena berprofesi sebagai karyawan bank atau profesional lain yang posisinya selalu berkutat dengan uang (kasir atau bendahara), akhirnya tertarik mengoleksi berbagai jenis mata uang. Tidak jarang, papar Yasin, karena keseringan ke luar negeri dan tertarik melihat mata uang asing, kemudian mengumpulkannya sebagai koleksi. Karena motivasi iseng inilah, yang mendasari seseorang akhirnya menjadi numismatis.

Karena iseng pula, kolega saya yang tidak sengaja mendapatkan beberapa butir logam koin yasin – saat mencangkul di halaman rumahnya di Tanjung Morawa, kini semakin tertarik untuk menambah koleksinya.

“Tidak untuk dijual. Saya sangat tertarik dengan warna dan gambarnya,” jelasnya.

Ia pun menunjukkan koin yasin itu yang salah satu sisinya bertuliskan yasin dengan huruf Arab gundul dengan susunan tulisan sejajar ke bawah. Pada sisi lain koin tersebut bergambar seseorang (seperti pria berjenggot panjang) diembos, memegang tongkat dengan tangan kiri dan di tangan kanannya menjinjing sebuah benda mirip tempat bekal makanan. Sedangkan di bagian atas kanan dekat kepala, bergambar bulan sabit-bintang dan tulisan yasin serta sederet tulisan lainnya.

Penasaran dengan koin unik dan langka itu, saya pun mencoba berselancar di dunia maya, pada salah satu situs pelelangan koin kuno, ternyata koin yasin itu bernilai sangat fantastis. Tapi tegas pemilik koin itu, untuk tidak menjualnya dan hanya akan dijadikan koleksi.

Sejatinya, motivasi dasar sebagai alasan seseorang menggeluti sebuah hobi itu sangat penting. Dengan adanya motivasi, ketekunan dan keseriusan akan menyertai. Begitu halnya, motivasi sangat diperlukan bagi seorang numismatis. Karena dari motivasi itulah akan lahir tujuan yang kelak ingin dicapai seorang numismatis.

Nilai Sejarah
Benda-benda numismatik yang unik kerap memiliki nilai sejarah sesuai tahun terbitnya. Nilai sejarah inilah yang menjadi pemicu dasar tinggi-rendahnya benda numismatik. Sama kita ketahui, sebelum kemerdekaan RI, uang sebagai alat tukar dalam perdagangan sudah dikenal meluas di nusantara.

Perdagangan internasional pada masa lampau, menyuburkan peredaran mata uang asing di negara kepulauan ini. Misalnya mata uang dari zaman Kerajaan Hindu Buddha (850-1300 Masehi), zaman kerajaan-kerajaan Islam, masa pemerintahan kolonial Belanda, kedatangan pedagang Perancis dan Inggris, hingga era pendudukan Jepang.

Pada sebuah literatur, saat Ratu Buton II (Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara) masih berjaya sekira abad ke-14, pernah dibuat uang berbahan dasar kain tenun dengan sebutan Kampua. Seiring maraknya imperialisme di Indonesia, mata uang koin pun mulai diperkenalkan. Masih ingatkah kita, beberapa tahun lalu warga Ngawi pernah menemukan uang kuno dari zaman Dinasti Ching, bahkan warga Malang juga menemukan sekarung uang yang sama? Zaman bergulir, uang kertas pun mulai diproduksi.

Menjadi numismatis memang perlu modal wawasan. Jika bersungguh-sungguh, tentu wawasan ini bisa didapatkan dari berbagai cara. Misalnya melebur pada sebuah perkumpulan numismatik, mempelajari referensinya dari buku, majalah, bahkan dunia maya. Kini bahkan tersedia katalog uang kertas Indonesia (KUKI) dan katalog uang logam Indonesia.

Dengan wawasan yang memadai, kita bisa membedakan jenis dan seri uang tertentu. Ini akan memudahkan menyiasati uang mana yang akan dikoleksi. Terpenting, memahami harga uang kuno dipasaran saat sekarang. Katagol Uang Kertas Indonesia (KUKI) dan katalog sejenis bisa membantu kita untuk mengambil keputusan.

Kita bisa berdecak kagum, melihat harga selembar uang kertas yang melambung 1.500% dari nominal aslinya bahkan lebih. Tapi ada juga yang kenaikan nilainya biasa-biasa saja, artinya jika jenis uang tersebut dalam jumlah banyak dikonversikan dengan bunga bank dan ditabungkan dalam jangka waktu tertentu, sekarang nilainya tetap sama.

Layaknya mengoleksi barang-barang lainnya, mengoleksi numismatik juga mendatangkan keuntungan secara finansial. Tidak harus uang kuno, uang yang kita pakai sekarang juga harganya bisa melebihi nominal yang ada. Apa alasannya?

Tidak jauh beda dengan nomor perdana kartu sim ponsel, nomor yang berurut atau yang kembar – triple, kwarted, dll – nilai jualnya bisa selangit. Begitu juga dengan uang kertas yang memiliki seri ‘nomor cantik’. Misalnya pecahan uang kerta yang ada saat sekarang, niminal Rp.1.000, pecahan Rp2.000, pecahan Rp10.000, atau pecahan Rp50.000.

Yah, mengoleksi numismatik baik dari jenis uang antik hingga uang bernomor cantik bisa menjadi investasi masa depan. Kecuali akan melunaskan kebahagian karena hobi, investasi numismatik juga bisa mendatangkan hoki. Tertarikkah Anda? (Rhinto Sustono/Analisa)

Sumber: http://harian.analisadaily.com/news?r=85957

14 September 2015

Seni berburu uang lama: Mengatur napas, menyusun strategi

Seni berburu uang lama: Mengatur napas, menyusun strategi

Wisnu Murti sedang menata dagangannya di Pasar Klitikhan Pakuncen, Wirobrajan, Yogyakarta. FOTO: Rachmat Sujianto/Bisnis.com

MENGOLEKSI uang lama memang sangat mengasyikkan. Mengutip pendapat Wisnu Murti, kolektor senior sekaligus penjual uang lama di Pasar Klithikan Wirobrajan, Yogyakarta, letak keasyikannya adalah saat kita hendak melengkapi satu seri tapi ternyata ada satu pecahan yang sangat susah didapatkan. Kesabaran dalam berburu satu pecahan itulah yang membuat perburuan uang lama menjadi asyik dan menantang.

Bayangkan kalau kita sudah punya, katakanlah, seluruh seri Sudirman kecuali pecahan Rp10.000. Segala daya dan upaya pasti kita kerahkan untuk mencari satu denominasi dalam seri tersebut agar komplit. Yang bikin sulit, bagia sebagian besar kolektor pemula uang tersebut bukanlah uang murah. Maka harus pintar-pintar mencari uang dengan kondisi bagus tetapi harganya tidak terlalu menguras kantong.

Keasyikan lain mengoleksi uang lama bagi kolektor pemula adalah saat jumlah koleksi semakin lama semakin banyak jumlahnya, serta semakin tinggi nilainya. Dari hanya beberapa lembar, lama-lama jumlah koleksi berlipat ganda hingga beralbum-album. Dari hanya mengoleksi ‘uang sayur’ seharga ribuan rupiah, lalu meningkat dengan mengoleksi uang berkelas seharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Peningkatan jumlah maupun nilai uang lama yang dikoleksi tersebut tentu membutuhkan proses. Bila diibaratkan lomba lari, mengoleksi uang lama adalah maraton, lari jarak jauh yang membutuhkan strategi tepat agar tak ‘kehabisan napas’ di tengah-tengah perlombaan. Kolektor paling senior sekali pun dituntut sabar dan harus pandai-pandai mengerem ambisinya kalau tak mau tersungkur di tengah jalan.

Sayangnya, kebanyakan kolektor pemula sering terlalu terburu nafsu dalam membeli koleksi baru. Alih-alih mengatur napas, mereka malah mengencangkan larinya karena tak sabar ingin cepat-cepat sampai ke tujuan. Setiap ditawari uang yang belum ia punya, pasti dibeli. Terkadang tak peduli dengan harga, yang penting kondisi oke. Ini ibarat sprint.

Menggunakan strategi sprint di lomba maraton jelas keputusan konyol. Akibatnya, tak heran bila banyak kolektor pemula yang hanya menekuni dunia numismatik seumur jagung.

Variasi Harga

Ada banyak alasan kenapa seorang kolektor musti meningkatkan kesabarannya dalam berburu uang lama. Salah satunya, harga uang lama tidak mempunyai standar baku. Oke, memang di katalog-katalog uang macam Katalog Uang Kertas Indonesia (KUKI) maupun Standard Catalog of World Paper Money terdapat panduan harga. Namun, ingat, harga tersebut bukan patokan resmi yang harus dipatuhi seluruh numismatis. Pasar uang lama yang sedemikian luas dan bebas memungkinkan terjadinya variasi harga sesuai kesepakatan penjual dan pembeli.

Satu hal lagi yang membuat katalog uang seolah tak berlaku adalah pergerakan barang di pasar dan permintaan. Jika permintaan banyak, uang yang sebenarnya berkategori sayur pun bisa berharga lebih bagus ketimbang yang seharusnya. Pun demikian jika satu uang tertentu mulai langka di pasaran, bisa dipastikan harganya menjadi melambung tinggi.

Sebagai contoh uang pecahan Rp10 tahun 1959 yang biasa diburu untuk keperluan mas kawin atau mahar nikah. Di KUKI 2005 maupun 2010, harga uang lama ini dalam kondisi UNC tak sampai Rp10.000. Tapi, coba lihat harganya di pasaran. Sebagian besar penjual mengecernya dengan harga minimal Rp20.000/lembar. Di Pemalang, saya malah pernah menemukan sebuah toko menjualnya seharga Rp50.000/lembar!


Ini uang sayur. Variasi harga lebih seru bisa ditemukan saat seorang kolektor mencari uang yang sedikit lebih berkelas. Ambil contoh uang Seri Wayang pecahan 10 gulden. Di pasaran harganya sangat variatif, sekali pun kondisi (grade) uang yang ditawarkan sama saja, yakni berkisar antara Very Good (VG) hingga Extremelty Fine (XF). Kalau tak hati-hati dan teliti, kolektor bisa saja membeli uang lama berkondisi lebih jelek tapi dengan harga lebih mahal. Ini biasa terjadi pada kolektor pemula.

Hal sama berlaku pada kolektor uang asing. Harga di Standard Catalog of World Paper Money atau Standard Catalog of World Coin bukanlah harga resmi, sehingga banderol yang dipatok pedagang berbeda-beda di pasaran. Jika Anda biasa berburu uang asing di situs lelang eBay, perbedaan harga ini dapat terlihat jelas.

Nah, karena terus-terusan membeli uang lama dengan harga tidak wajar, nilai koleksi jauh lebih rendah dari harga pasar. Saat hendak menjual, si kolektor bisa rugi meskipun harga uang lama cenderung naik dari waktu ke waktu.

Kondisi Finansial

Alasan lain kenapa seorang kolektor musti ekstra sabar dalam berburu uang lama adalah kondisi finansial. Mengoleksi uang lama membutuhkan dana besar, apalagi kalau kolektor tak membatasi apa saja yang hendak dikoleksi. Terus-menerus membeli uang lama tanpa memperhatikan keadaan ekonomi bisa membuat kolektor kehabisan uang dan akhirnya jatuh bangkrut.

Meski demikian, seseorang tak harus berkantong tebal untuk menjadi kolektor uang lama. Tak harus menjadi dokter seperti dr. Arifin di Jakarta, karena siapa pun dari latar belakang apa pun bisa menjadi kolektor kakap. Syaratnya adalah kesabaran tinggi dan didukung dengan manajemen finansial yang baik. Kalau main hantam kromo tanpa mempedulikan kas di kantong, terlebih tak diimbangi dengan menjual sebagian koleksi, harta seberapa pun tak akan cukup untuk memuaskan hasrat mengoleksi uang.

Berjalan beberapa bulan saja, koleksi milik kolektor seperti ini memang langsung banyak. Bahkan bisa mengungguli kolektor-kolektor yang sudah lebih lama 'bermain' uang kuno. Tapi seiring dengan itu keuangan dibuat limbung karena terus-menerus mengeluarkan uang, apalagi kalau sampai mengganggu ekonomi keluarga demi memuaskan ambisi akan koleksi tertentu. Ujung-ujungnya, uang yang sudah dikoleksi pun berganti dilepas satu demi satu.

Untuk itulah seorang kolektor dituntut pandai-pandai mengatur napas agar tak pingsan, atau bahkan ‘mati’, saat berburu uang lama.

Bagaimana pendapat Anda? Yuk, share di kolom komentar...

12 September 2015

Tertarik jualan uang lama? Begini asyiknya jadi kolekdol

Tertarik jualan uang lama? Begini asyiknya jadi kolekdol

USAHA jual-beli uang lama sudah saya lakoni sejak pertengahan 2009. Tepatnya setelah saya melakukan liputan soal hobi koleksi uang jaman dulu alias numismatik ke sejumlah kolektor Jogja. Dari liputan itulah, lha kok, saya ikut-ikutan kecemplung menjadi kolektor kecil-kecilan, sekaligus juga pedagang kecil-kecilan.

Waktu itu saya buta sama sekali soal uang lama. Tapi saya langsung menemukan chemistry saat mendengarkan cerita Mas Panji Kumala di rumahnya di kawasan Sagan, kisah Pak Sugiarto berburu koin hingga menyelami lautan di Indonesia Timur, serta Pak Whisnu Murti di lapaknya di Pasar Klithikan, Wirobrajan.

Ketertarikan pada uang lama semakin bertambah setelah saya menemukan forum numismatis di Kaskus serta membaca-baca sejumlah referensi online. Satu hal yang membuat saya tertarik, mengoleksi uang lama ternyata bisa jadi instrumen investasi alternatif. Sama halnya menyimpan emas.

Sarana Investasi Menarik

Begini penjelasan Mas Panji saat saya wawancarai untuk keperluan liputan di Harian Jogja waktu itu. Kalau kita menabung uang, katakanlah, Rp100.000 di bank, maka 1-2 tahun kemudian nilai uang tersebut justru berkurang. Apalagi jika tabungannya tak pernah ditambah, tak sampai setahun saldo rekening habis tak bersisa.

Menggunakan penjelasan agak keren, uang Rp100.000 tersebut bakal terus tergerus inflasi sehingga nilainya semakin turun dari waktu ke waktu. Ini dengan asumsi uang Rp100.000 masih bertahan di bank, tidak bertambah jumlahnya dan tidak berkurang.

Sekarang coba gunakan uang Rp100.000 itu untuk membeli uang lama pecahan, sebagai contoh saja, Rp10.000 tahun 1985. Waktu saya kecil, ini uang pecahan tertinggi. Cuma orang berduit yang di kantongnya ada lembaran uang bergambar RA Kartini ini. Saat menjumpai Mas Panji enam tahun lalu, harga selembar uang Rp10.000 tahun 1985 berkisar antara Rp25.000-Rp35.000 tergantung kondisinya. Katakanlah kita beli yang kondisi biasa-biasa saja seharga Rp25.000/lembar, maka dengan uang Rp100.000 kita bisa memiliki 4 lembar.

Simpan keempat uang lama tersebut barang 1-2 tahun, maka nilainya bisa dipastikan bertambah. Seberapa banyak? Sebagai gambaran, uang Rp10.000 tahun 1985 kondisi tengah alias tak terlalu bagus dan juga tak terlalu jelek harganya sudah mencapai Rp40.000/lembar saat ini. Memang peningkatannya tak banyak sih, tapi setidaknya kita tak rugi seperti halnya menabung di bank.

Kalau ingin yang return of investment-nya cepat, belikan uang mahar alias uang-uang lama yang biasa digunakan sebagai mas kawin. Asal dapat menemukan pedagang yang pas, kita bisa mendapatkan harga yang sangat terjangkau untuk uang lama pecahan Rp1, Rp5, atau Rp10, untuk kemudian dijual secara eceran dengan harga 2-3 kali lipatnya.


Modal Minimal Hasil Maksimal

Saat kembali serius berjualan uang lama awal Januari 2012 lalu, modal saya tak sampai Rp150.000. Uang sebesar itu saya belikan uang lama pecahan Rp1 tahun 1961 dan Rp10 tahun 1959 masing-masing 20 lembar. Boleh percaya boleh tidak, akhir bulan itu juga saya bisa mengantongi keuntungan bersih Rp500.000 lebih sedikit. Padahal saya tak menjualnya mahal-mahal. Hanya saja perputarannya tergolong cepat sehingga uang Rp150.000 tadi menghasilkan penjualan hingga 10 kali lipatnya.

Mundur ke akhir 2009, saya membeli 3 lembar uang lama pecahan Rp1.000 tahun 1952 seharga Rp 1 juta sudah termasuk ongkos kirim. Ketiga lembar uang itu dalam kondisi baik. Pakai hitung-hitungan kasar saja, Rp 1 juta dibagi tiga berarti harga per lembar uang itu sekitar Rp340.000. Mahal? Tunggu dulu. Selembar dari ketiga uang itu dibeli seseorang di Surabaya seharga Rp550.000 hanya berselang sepekan setelah saya pegang. Lalu selembar lagi terjual seharga $49.00 di eBay. Waktu itu kurs rupiah masih di angka Rp9.500/dolar.

Sisa selembar lagi saya simpan hingga tahun 2013, sebelum dibeli seorang kolektor asal Jambi seharga Rp850.000. Eh, hanya selang beberapa bulan setelag itu, saya dengar uang Rp1.000 tahun 1952 dengan kondisi begitu dihargai Rp 1,5 juta. Wow!

Saya juga sempat membeli 2 lembar uang Soeharto polymer dengan nomor seri urut seharga hampir Rp200.000. Saya pikir itu terlalu mahal. Nyatanya hanya sekitar 2 pekan kemudian saya bisa menjual kedua lembar uang itu seharga Rp250.000. Dapat cuan Rp100.000 deh. Lumayan.

Sejak itulah saya semakin meminati sekaligus menikmati berjualan uang lama. Sampai detik ini.

Beberapa pembeli sering menganggap saya kolektor uang lama. Hmmm, padahal sebenarnya saya hanyalah seorang kolekdol. Maksudnya, saya memang mengoleksi uang lama. Tapi kalau ada yang mau membeli ya saya dol (=jual, Jawa) saja. Hahaha...

12 April 2012

Kolektor Perfeksionis

Kolektor Perfeksionis

SECARA umum seorang numismatis mengoleksi uang berdasarkan denominasi atau serinya. Maksudnya, yang jadi perhatian utama adalah nilai pecahan yang tertera di uang tersebut, lalu termasuk dalam seri apa. Kalau sudah dapat satu denominasi di seri tertentu, katakanlah uang wayang 10 Gulden, ya sudah. Selanjutnya kumpulkan seri atau denominasi lainnya dalam Seri Wayang.

Menariknya, ada segolongan kolektor yang sangat teliti dalam mengumpulkan uang. Tak hanya perbedaan denominasi dan seri, mereka juga memperhitungkan hal-hal detil yang bagi kebanyakan kolektor bukan perbedaan. Misalnya perbedaan tanda tangan atau warna pada uang dengan denominasi dan seri yang sama.

Untuk menunjukkan betapa detil perhatiannya terhadap uang-uang yang ia koleksi, saya sebut saja kolektor-kolektor seperti ini sebagai kolektor perfeksionis. Bayangkan, bahkan perbedaan tanda tangan pun diperhatikannya! Tak heran jika kolektor yang masuk kategori ini umumnya memiliki koleksi super lengkap.

Beda Tanda Tangan
Sebagai contoh uang pecahan Rp2.000 bergambar Pangeran Antasari. Uang ini pertama kali dirilis tahun 2009, dan ketika dibuat jabatan Gubernur Bank Indonesia diisi oleh Deputi Gubernur Senior (DGS) Miranda Gultom. Gubernurnya sendiri adalah Boediono. Namun karena Boediono mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden bersama Susilo Bambang Yudhoyono di Pemilihan Presiden, posisi Gubernur BI lowong dan untuk sementara diisi oleh Miranda Gultom.

Karena yang menandatangani uang resmi suatu negara adalah gubernur atau pejabat gubernur bank sentral dan wakilnya, uang pecahan Rp2.000 tahun emisi 2009 ditandatangani oleh Miranda Gultom selaku DGS BI, dan tulisan di bawah tandatangannya adalah "Deputi Gubernur Senior". Pada terbitan tahun 2010 posisinya berubah. Jabatan Gubernur BI diisi oleh Darmin Nasution, sedangkan Miranda Gultom menjadi Deputi Gubernur. Dengan demikian posisi tandatangan Miranda pindah dari sebelumnya di sebelah kiri ke sebelah kanan.

Kemudian pada terbitan tahun 2011, lagi-lagi tandatangannya berubah. Tandatangan Darmin Nasution selaku Gubernur BI memang masih ada, tapi tanda tangan Deputi Gubernur berganti, bukan lagi Miranda. Kalau diperhatikan tanda tangan Deputi Gubernur pada emisi 2011 sama dengan keluaran pertama di tahun 2009 saat Miranda menjabat sebagai Deputi Gubernur Senior alias plt. Gubernur BI.


Bagi kolektor awam, hal ini tidak berarti apa-apa karena nominal dan tampilan uangnya sama saja. Tapi bagi kolektor perfeksionis, perbedaan tanda tangan seperti ini merupakan keunikan tersendiri yang membuat uang tersebut wajib dikoleksi. Maka jangan heran kalau ada kolektor yang menyimpan uang Rp2.000 tahun 2009 sampai dua macam atau bahkan lebih.

Begitu juga saat BI merevisi tampilan uang pecahan Rp10.000, Rp20.000, Rp50.000 dan Rp100.000. Perubahan minor yang dilakukan saat itu adalah dengan menambah gambar pola di bidang kosong di mana watermark berada. Jika sebelumnya di bidang tersebut kosong dan hanya ada watermark, kini terdapat gambar pola bulat-bulat dengan warna sesuai warna dasar uang.

Bagi kolektor awam, perubahan kecil seperti ini tak akan membuatnya mengoleksi uang keluaran baru melengkapi emisi sebelumnya. Tapi bagi kolektor spesialis, uang terbaru dengan revisi minor ini wajib hukumnya untuk disimpan dalam album koleksinya.

Lain Warna
Selain perbedaan tanda tangan, perbedaan warna pada uang yang sama juga menjadi perhatian kolektor perfeksionis. Ambil contoh pecahan Rp10.000 tahun 2005. Uang bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II dari Kesultanan Palembang ini beredar dalam dua warna. Cetakan pertama yang dirilis 18 Oktober 2005 berwarna dominan ungu. Namun karena warnanya dianggap hampir sama dengan pecahan Rp100.000, BI kemudian mengeluarkan cetakan baru berwarna kebiruan pada 20 Juli 2010.

Tampilan dan tema uang Rp10.000 tahun 2005 dan 2010 sama persis, yang berubah hanya warnanya saja. Sebagian besar kolektor, utamanya yang masih tahap pemula, sering mengabaikan hal ini. Bagi para kolektor yang saya sebut sebagai kolektor spesialis, perbedaan warna seperti ini membuat uang Rp10.000 emisi 2010 wajib dikoleksi sekalipun sudah punya yang emisi 2005.

Sebelum uang Sultan Mahmud Badaruddin II, BI sudah beberapa kali mengeluarkan uang dengan denominasi dan tampilan gambar sama persis tapi berbeda warna. Mulai dari seri pekerja, di mana pecahan Rp5.000 tahun 1958 ada yang berwarna coklat kehijauan dan cetakan selanjutnya berwarna ungu.


Masih dari seri pekerja, pecahan Rp100 tahun 1964 juga beredar dalam dua warna. Satu berwarna ungu, sedangkan satunya lagi berwarna biru. Padahal gambar dan desainnya sama saja, yakni gambar penyadap karet (obverse) dan rumah adat Kalimantan (reverse).

Begitulah, namanya saja perfeksionis. Bagi kolektor yang begitu mendetil seperti ini perbedaan sekecil apapun merupakan sebuah keunikan. Ada perbedaan sedikit saja dari jenis uang yang sama sudah dinilai sebagai perbedaan, dan karenanya harus masuk ke album koleksi.

Bagaimana dengan Anda? [eko/uanglama.com]

15 Maret 2012

Di Mana Membeli Uang Lama?

Di Mana Membeli Uang Lama?


HOBI mengoleksi benda lawas semacam uang lama tentu lekat dengan aktivitas ‘berburu’. Maklum saja, benda kuno seperti uang lama memang tak mudah ditemui. Selain barangnya langka, penjualnya pun tak banyak. Karena itu kolektor dituntut memiliki kesabaran ekstra dalam melengkapi koleksinya.

Ambil contoh Pasar Klithikan Pakuncen di daerah Wirobrajan, Yogyakarta. Dari sekian puluh pedagang di pasar itu, lapak yang khusus menyediakan uang lama hanya ada satu. Di utara Pasar Beringharjo, masih di Yogyakarta, jumlahnya agak banyak. Namun yang khusus berjualan uang lama bisa dihitung dengan jari satu tangan.

Sedikitnya jumlah pedagang uang lama di satu kota membuat kolektor musti membuka mata dan memasang telinga lebar-lebar. Mereka tak boleh terpaku hanya di satu kota saja. Jika uang yang dicari tak bisa ditemui di kotanya, kolektor mau tidak mau harus berburu ke luar kota. Bahkan tak jarang hingga ke luar negeri. Bayangkan sendiri berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan seorang kolektor untuk bepergian jauh seperti itu.

Tertolong Internet
Pengalaman menarik pernah diungkapkan Soegiarto, kolektor spesialis koin asli Bandung yang belakangan menetap di Yogyakarta. Di jaman mudanya dulu, Giarto biasa berburu koin kuno ke luar kota. Ia bahkan pernah sampai ke Sulawesi untuk mengangkat sendiri tumpukan koin kuno yang terpendam di dasar laut.

Itu cerita dulu. Kini kolektor banyak terbantu dengan adanya internet. Cukup dengan mengakses internet di dalam rumah, kolektor bisa mencari uang buruannya ke sejumlah tempat tanpa menghabiskan banyak ongkos. Tinggal klik sana-sini, lakukan transaksi secara online, lalu tunggu barangnya datang.

Ada banyak sekali situs penjual uang lama. Sebagian masih ‘menumpang’ di layanan blog gratis milik Blogger.com, sebagian lagi sudah dikelola lebih serius dengan menyewa hosting dan menggunakan nama domain sendiri. Sekedar menyebut contoh, penjual lokal yang masih menggunakan layanan blog gratis diantaranya http://esenta.blogspot.com milik Esenta Banknote Collection. Sedangkan yang sudah memakai nama domain sendiri diantaranya www.uangkuno.net, www.koleksiuang.com, dan tentu saja www.uanglama.com.

Untuk penjual dari luar negeri, satu nama yang direkomendasikan adalah toko online WorldPaperMoneyMart.com. Pemilik situs ini terdaftar sebagai anggota International Bank Note Society (IBNS), sehingga lebih dapat dipercaya. Situs lainnya adalah CollectPlaza.com. Pemilik situs ini, Rob Huisman, sangat akrab di telinga kolektor Indonesia. Selain karena rutin mengadakan lelang uang yang banyak diikuti kolektor-kolektor tanah air, kolektor Belanda ini adalah kolektor spesialis uang Netherlandsche Indie dan Oeang Republik Indonesia (ORI). Ia bahkan melakukan penelitian khusus tentang kode rahasia pada nomor seri ORI.

Penjual-penjual yang situsnya memakai layanan gratis biasanya masih menggunakan metode penjualan konvensional. Maksudnya, transaksi dilakukan seperti layaknya berbelanja di pasar atau supermarket, di mana pembeli masih harus berhubungan langsung (via email, sms atau telepon) dengan penjual. Sedangkan situs yang memakai nama domain sendiri umumnya sudah menerapkan sistem penjualan otomatis dengan memakai program-program tertentu. Dengan demikian pembeli dapat berbelanja tanpa sekalipun mengadakan kontak dengan penjual.

Situs Lelang
Alternatif lain dalam berburu uang lama adalah dengan mengikuti lelang online. Untuk urusan yang satu ini, eBay.com yang merupakan situs lelang terbesar dunia menjadi rujukan nomor satu. Luasnya jangkauan eBay membuat uang lama yang ditawarkan di situs tersebut sangat beragam, seberagam negara asal para penjualnya.

Kolektor uang asing dijamin betah berlama-lama mengakses eBay. Pasalnya hampir seluruh uang yang ada di dunia ini dapat dibeli di eBay. Mulai uang negara-negara maju di Eropa dan Amerika, uang negara-negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin, sampai uang dari negara-negara yang namanya jarang didengar. Saking lengkapnya, kolektor bahkan bisa memperoleh uang dari negara yang belum diakui kedaulatannya oleh dunia internasional. Republik Nagorno Karabakh, misalnya.

Membeli di eBay juga berpeluang mendapatkan koleksi bagus dengan harga di bawah acuan katalog terpercaya, semacam Standard Catalog of World Paper Money terbitan Krause Publication. Uang Iran pecahan 500 rial 1982 (P-137) yang di katalog dihargai minimal $3.00, di eBay bisa diperoleh dengan harga $1.00 saja. Namun sebaliknya, tak jarang pula uang yang di katalog harganya tak sampai $1.00 dijual dua hingga tiga kali lipat. Jangan buru-buru menyalahkan penjual, sebab proses lelanglah yang membuat harga sebuah barang di eBay jadi melambung terlalu tinggi.

Dari sekian keunggulannya, berbelanja di eBay memiliki satu kelemahan. Karena alasan jauhnya jarak, penjual eBay kerap mengenakan ongkos kirim lumayan tinggi. Lucunya, tak jarang ongkos kirim malah lebih besar dari harga uang yang dibeli. Saya sendiri pernah mengalaminya saat membeli satu set uang China seharga $0.95, tapi ongkos kirimnya $3.00. Toh, meski demikian uang sebanyak total $3.95 yang saya keluarkan itu masih terhitung murah bila dibandingkan dengan koleksi yang diperoleh.

Untuk situs lelang lokal dengan item uang-uang lama Indonesia, nama Kintamoney.com pantas jadi pilihan nomor satu. Banyaknya jumlah pedagang dengan beragam jenis uang menjamin tersedianya banyak pilihan untuk dimenangkan. Apalagi transaksinya menggunakan mata uang rupiah dan pembayaran bisa ditransfer melalui bank.

9 Maret 2012

Mengenal Perancang Uang

Mengenal Perancang Uang



UANG sebenarnya bisa dikatakan sebagai sebuah karya seni. Lihat saja, uang dicetak dengan desain dan grafis menarik. Desainer atau perancang uang (disebut dengan istilah delinavit), rasanya sangat layak dimasukkan dalam kelompok seniman.

Wajar saja, mengingat uang-uang hasil desain mereka begitu indah. Tak beda dengan sebuah lukisan karya pelukis terkenal. Siapa yang tak mengagumi keindahan gambar uang Rp10.000 tahun 1975 atau biasa disebut sebagai uang barong?

Sebagian besar uang kertas Indonesia yang terbit antara tahun 1952 hingga 1988 mencantumkan nama desainer uang tersebut. Keterangan tersebut dapat dilihat di bagian muka uang, tepatnya di sebelah kiri bawah. Nama desainer tertulis dalam huruf kapital dan diikuti dengan tulisan "DEL.", yang merupakan singkatan dari "Delinavit" alias perancang uang. Dengan demikian kita jadi tahu siapa nama perancang uang yang kita gunakan sehari-hari.

Adapun uang pecahan Rp5 dan Rp10 tahun 1950 (era Republik Indonesia Serikat, RIS), Rp1 dan Rp2,5 tahun 1951/1953, Rp1 dan Rp2,5 tahun 1954/1956, seluruh uang keluaran tahun 1957 (Seri Hewan), Rp5 tahun 1958, seluruh uang keluaran tahun 1959 (Seri Bunga), uang-uang bergambar Presiden Soekarno keluaran 1960, Rp1 dan Rp2,5 tahun 1961, Rp1 dan Rp2,5 tahun 1964, Rp100 dan Rp500 tahun 1977, Rp1.000 dan Rp 5.000 tahun 1975, serta Rp10.000 tahun 1979 tidak dicantumkan nama desainernya.

Di tahun 1980, Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) kembali mencantumkan nama perancang uang di atas uang yang mereka cetak. Dimulai dengan pencantuman nama Sudirno di uang pecahan Rp1.000 tahun 1980 dan nama AL Roring di uang pecahan Rp5.000 tahun yang sama. Uang kertas terakhir yang mencantumkan nama desainernya adalah pecahan Rp500 tahun 1988. Uang yang biasa disebut sebagai uang kijang atau menjangan ini mencantumkan nama Soeripto.

Sejak edisi 1992, uang-uang kertas Indonesia tidak lagi mencantumkan nama perancangnya.

Pegawai Perum Peruri
Nama Heru Soeroso di uang Rp100 tahun 1984.Generasi yang lahir sebelum tahun 80-an tentu akrab dengan tulisan seperti tampak pada gambar di samping. Heru Soeroso yang namanya tercetak pada uang Rp100 tahun 1984 tersebut hanyalah salah satu dari sekian perancang uang Indonesia. Beberapa nama lain yang sempat menghiasi uang-uang terbitan Bank Indonesia diantaranya adalah (diurut berdasar tahun terbitan uang yang dirancang) Junalies, M. Sadjiroen, Risman Suplanto, dan Soedirno.

Umumnya, perancang uang adalah pegawai Perum Peruri. Entah apakah mereka awalnya bukan pegawai lalu direkrut karena kepiawaiannya dalam melukis, atau sejak awal memang sudah bekerja di Peruri. Yang jelas, nampak sekali Peruri begitu menghargai hasil karya para perancang uangnya. Bentuk penghargaan itu adalah dengan mencantumkan nama si perancang di bagian muka uang.

Junalies (1924-1976)Contohnya Junalies--namanya merupakan ejaan lama, dibaca Yunalies. Lelaki kelahiran Bukittinggi, 14 Juni 1924, ini mulai bekerja di Peruri sejak berusia 21 tahun. Tepatnya pada 1 Agustus 1955. Waktu itu Perum Peruri belum didirikan. Junalies bekerja di PN Pertjetakan Kebajoran yang merupakan cikal bakal perusahaan pencetak uang negara tersebut. Ia bekerja untuk Peruri hingga akhir hayatnya, yakni saat meninggal dunia pada 10 September 1976.

Selama 21 tahun lebih bekerja di Peruri, uang hasil karya Junalies banyak sekali. Diantaranya seluruh uang Seri Pekerja yang terbit di tahun 1958, yang kemudian diterbitkan lagi di tahun 1963 dan 1964 (pada beberapa pecahan merupakan hasil kerja sama dengan M. Sadjiroen). Lalu uang pecahan Rp1 dan Rp2,5 tahun 1960, dan disusul uang pecahan Rp1 dan Rp2,5 tahun 1968. Karya terpopuler lelaki Minang ini adalah uang pecahan Rp10.000 tahun 1975. Boleh dibilang hampir seluruh kolektor uang lama Indonesia menyukai desain uang yang lebih dikenal sebagai uang barong ini.

Nama perancang uang Indonesia lainnya adalah M. Sadjiroen. Seniman uang kelahiran Kendal 4 Maret 1931 ini mulai bekerja di Peruri pada 12 Desember 1955. Ia juga cukup lama bekerja di Peruri, yakni selama 31 tahun lebih sampai dengan 1 April 1987. Hasil karyanya adalah uang-uang Seri Sudirman mulai pecahan Rp5 hingga Rp10.000. Bersama Junalies ia menghasilkan desain uang Rp10, Rp50 dan Rp500 tahun 1958; Rp10 tahun 1963, serta Rp50 dan Rp100 tahun 1964. Entah kebetulan atau tidak, dalam kerja sama keduanya M. Sadjiroen selalu mendapat bagian mendesain bagian belakang uang (reverse), sedangkan Junalies bagian muka (obverse).


M. Sadjiroen
Di era 1980-an, tepatnya selama 1980-1988, terdapat 4 nama perancang uang yang kerap menghiasi uang-uang terbitan BI. Keempatnya adalah Sudirno, AL Roring, Soeripto, dan Heru Soeroso. Dari keempatnya, nama Soeripto dan Sudirno yang paling sering tampil. Nama Soeripto dapat dilihat pada uang Rp500 tahun 1982, Rp5.000 tahun 1986, dan terakhir Rp500 tahun 1988. Sedangkan nama Sudirno tercetak di uang Rp1.000 tahun 1980, Rp10.000 tahun 1985, dan Rp1.000 tahun 1987 (reverse).

Nama AL Roring muncul dua kali selama periode tersebut. Yakni pada uang pecahan Rp5.000 tahun 1980 dan Rp1.000 tahun 1987 (obverse). Heru Soeroso menjadi pelukis uang yang namanya hanya terlihat di satu uang, yakni Rp100 tahun 1984. Uang-uang setelah tahun 1988 bisa jadi tetap hasil karya mereka. Namun sungguh disayangkan Perum Peruri tak lagi mencantumkan nama perancang pada masing-masing uang yang dicetak.

Sempat Dihiasi Nama Bule
Selain perancang lokal, nama perancang luar negeri pun sempat menghiasi rupiah. Ini terjadi saat Bank Indonesia masih menggunakan jasa percetakan uang luar negeri. Nama-nama asing tersebut terdapat pada uang-uang terbitan tahun 1952, atau lebih dikenal sebagai Seri Kebudayaan. Wajar saja, mengingat Seri Kebudayaan dicetak oleh dua perusahaan asing. Thomas de la Rue (TDLR) asal Inggris mencetak pecahan Rp5, sedangkan Joh. Enschede en Zonen asal Belanda mencetak Rp10, Rp25, Rp50, Rp100, Rp500, dan Rp1.000.

Pada pecahan Rp5 tahun 1952, tercetak nama C.A. Mechelse sebagai perancangnya. Mechelse tak hanya merancang pecahan Rp5, tapi juga Rp100 dan Rp1.000 (reverse). Pada Rp1.000, bagian depan (obverse) dikerjakan oleh desainer lain bernama F. Masino-Bessi. Mechelse sendiri tampaknya adalah desainer yang bekerja pada Joh. Enschede en Zonen. Selain uang Indonesia Seri Kebudayaan, namanya juga terdapat di uang Suriname pecahan 10 Gulden 1963 (dicetak oleh Joh. Enschede en Zonen) dan uang Belanda pecahan 50 guilder 1945.

Rp1.000 tahun 1952 rancangan Fiorenzo Masino-Bessi.Nama asing kedua adalah F. Masino-Bessi, perancang bagian depan uang pecahan Rp1.000 tahun 1952. Seniman uang bernama lengkap Fiorenzo Masino-Bessi ini warga negara Italia. Di negaranya, ia dipercaya Banca d'Italia (bank sentral Italia) untuk merancang seluruh uang yang diedarkan sepanjang 1962-1971. Setidaknya ia merancang 7 uang Italia selama periode tersebut, yakni pecahan 1.000 dan 10.000 lira 1962, 5.000 lira 1964, 50.000 dan 100.000 lira 1967, 1.000 lira 1969, dan 5.000 lira 1971.

Selain itu, Masino-Bessi pun sempat merancang uang Belgia pecahan 500 franc 1975. Lalu bersama-sama S.L. Hertz ia mendesain uang Israel pecahan 5 lirot 1968. Uang ini lebih dikenal sebagai Uang Einstein karena bagian depannya bergambar foto Albert Einstein, si jenius yang memang seorang Yahudi.

Nama perancang asing di rupiah selanjutnya adalah S.L. Hertz asal Belanda. Pria Yahudi ini juga sering disebut sebagai Sem Hartz. Sama seperti C.A. Mechelse, ia merupakan desainer tetap Joh. Enschedé en Zonen. Ia bergabung dengan perusahaan pencetak uang yang bermarkas di Haarlem ini sejak 1936. Bersama perusahaannya ia telah menghasilkan banyak desain uang, salah satunya Rp10 tahun 1952. Selain uang, ia telah banyak merancang perangko berbagai negara. Nama Hertz juga dikenang sebagai penemu jenis huruf (font) Juliana yang sangat membantu dunia percetakan menghemat banyak tinta.

Begitu banyak cerita menarik seputar perancang uang. Sayang, sejak tahun 1992 kita tak bisa lagi mengetahui siapa nama perancang uang yang kita kagumi keindahan karyanya, serta kita gunakan sehari-hari.

26 Februari 2012

Rp100 Tahun 1982 Gambar Badak

Rp100 Tahun 1982 Gambar Badak



MASIH seputar uang-uang 'aneh'. Kali ini yang akan saya angkat adalah Rp100 tahun 1982. Saya pertama kali mengetahui kabar ini dari seorang bapak di Kalimantan, sekitar pertengahan 2009 lalu. Si Bapak yang saya lupa namanya itu telepon saya sore-sore. Dia ngotot minta dicarikan Rp100 tahun 1982 barang beberapa lembar.

Saya yang tidak pernah tahu ada uang Rp100 tahun 1982 tentu saja ngotot bilang uang itu tidak ada. Bukan stoknya yang kosong, tapi uang itu memang tidak pernah ada. Lalu saya yakinkan si Bapak kalaupun uang itu ada, bisa dipastikan itu bukan keluaran resmi BI. Bisa dibilang itu uang palsu, atau setidak-tidaknya uang rekayasa. Eh, lha kok malah saya yang disemprot. Si Bapak bilang, "Ah, kamunya saja yang tidak tahu! Masa' jualan uang lama tidak tahu sih?" Hahaha...

Bapak tersebut kemudian menyebutkan ciri-ciri uangnya, yakni berwarna merah dan bergambar badak. Saya langsung ingat Rp100 tahun 1977, memang bergambar badak di bagian recto-verso. Tapi kalau Rp100 tahun 1982 bergambar badak? Hmmm, saya rasa ada yang tidak beres di sini. Soalnya melihat katalog uang Indonesia baik edisi 1995, 2005, ataupun edisi terbaru yang terbit 2010 lalu, tak ada uang Rp100 tahun 1982, apalagi bergambar badak! Lihat juga daftar uang Indonesia di Wikipedia, tak ada uang Rp100 tahun 1982. Uang Rp100 bergambar badak satu-satunya yang pernah dikeluarkan Bank Indonesia adalah tahun 1977.

Hasil Rekayasa
Okelah, taruh kata uang Rp100 tahun 1982 bergambar badak memang ada. Seperti kata si Bapak yang menelepon saya waktu itu, Rp100 tahun 1982 itu dia tahu ada yang menjual. Logikanya, kalau ada yang menjual berarti barangnya ada. Namun, sama seperti kasus uang Rp100 Perahu Layar, saya yakin sekali ini adalah hasil rekayasa. Modusnya sepertinya juga sama. Jika pada uang perahu layar tulisan asli 'PERAHU PINISI' dihapus dan diganti menjadi 'PERAHU LAYAR', maka untuk uang Rp 100 tahun 1982 tahunnya yang diganti. Jadi, tulisan asli '1977' di bagian depan uang dihapus dan diganti jadi '1982'.

Coba lihat dan bandingkan kedua gambar ini:


Sebenarnya, diamati dengan mata telanjang saja sudah terlihat jelas kalau uang Rp100 tahun 1982 merupakan hasil rekayasa. Pada beberapa uang yang saya jumpai, tulisan angka '1982' terlihat mencolok. Ukurannya tidak proporsional dengan ukuran huruf-huruf di sekitar angka itu. Lalu, di area yang tertulis tahun '1982' itu juga terlihat bekas dihapus. Kasar sekali bekasnya, sehingga tanpa bantuan kaca pembesar pun bisa terlihat jelas.

Anehnya, dengan rekayasa sekasar itu saja masih banyak orang yang percaya kalau uang Rp100 tahun 1982 adalah asli. Lebih gila lagi, banyak yang mau mengeluarkan uang ratusan ribu bahkan hingga jutaan rupiah untuk membeli selembar uang rekayasa yang disebut-sebut sangat langka ini. Padahal, Rp100 tahun 1977 yang merupakan uang seratus badak resmi keluaran BI saja harganya tidak lebih dari Rp30.000/lembar, UNC. Kalau beli banyak malah bisa dapat harga lebih rendah lagi.

Sebagai referensi, coba lihat daftar lengkap uang kertas pecahan Rp100 yang pernah dikeluarkan pemerintah Republik Indonesia dan kemudian Bank Indonesia. Perhatikan baik-baik, adakah uang Rp100 tahun 1982? Saya jamin, tidak ada!

Semoga bermanfaat.

11 Agustus 2011

Penipuan di Dunia Numismatik

Penipuan di Dunia Numismatik

SEJAK meluncurkan blogstore UangLama.com pada pertengahan 2009 lalu, saya sering mendapat email, SMS, bahkan telepon aneh-aneh. Bagaimana anehnya? Sebagai contoh, ada seseorang menelepon menanyakan uang kertas Rp100 tahun 1974. Tanpa membuka katalog pun saya ingat betul kalau uang yang ditanyakan itu tidak ada. Tapi si Bapak ngeyel. Ia bahkan berpesan untuk segera menghubunginya bila saya sudah dapat uang yang dimaksud.

Lalu ada lagi seorang bapak dari Kalimantan menanyakan uang pecahan Rp100 tahun 1992 bergambar kapal layar. Mulanya saya kira yang dimaksud uang Rp100 bergambar perahu phinisi. Tapi ternyata ia benar-benar mencari Rp100 bergambar kapal layar, bukan perahu phinisi. Usut punya usut, rupanya si Bapak mendapat info kalau bisa memperoleh uang itu bakal kaya raya karena selembar dihargai jutaan rupiah.

Alhasil, si bapak pun sempat merugi setelah terlanjur membeli 10 gepok/bendel uang Rp100 tahun 1992 yang dikiranya uang kapal layar.

Pak Wisnu, kolektor senior sekaligus penjual uang lama yang membuka lapak di Pasar Klithikan Wirobrajan, Yogyakarta, punya cerita lebih seru. Ia sangat sering didatangi orang yang menanyakan uang yang tidak pernah ada. Seperti uang Rp100 kertas tahun 1991, uang logam bergambar Soekarno, dll. Karena uang-uang tersebut memang tidak pernah ada, Pak Wisnu memberi penjelasan pada orang sambil menunjukkan katalog uang kertas.

Busa Mulut
Fenomena apa ini? Beberapa kolektor dan penjual uang lama yang saya tanyai tentang masalah ini kompak berkata kalau hal tersebut ulah sindikat. Entah sindikat apa, yang jelas mereka menyebarkan berita bohong dengan iming-iming kekayaan. Modusnya, mereka meminta tolong ke sebanyak mungkin orang untuk mencarikan uang tertentu, katakanlah uang Rp100 kapal layar. Nah, kepada orang-orang tersebut mereka bilang akan membelinya dengan harga sangat tinggi, biasanya sampai kisaran jutaan rupiah per lembar.

Mendengar tingginya harga yang dijanjikan, jelas banyak orang kemudian tergiur dan mencari-cari uang yang dimaksud. Tapi tentu saja mereka tidak akan pernah mendapatkannya karena uang tersebut memang tidak pernah dicetak oleh Bank Indonesia. Setelah capek berburu dengan hasil nol, orang-orang yang mencari ini kemudian digiring pada opini bahwa uang yang dicari itu memang benar-benar langka, karena itulah harganya sangat mahal. Puncaknya, para korban lantas diarahkan untuk membeli ke seseorang yang memiliki uang dimaksud.

Kalau sudah begini, kemungkinan penipuannya ada dua. Pertama, si pemilik uang tersebut adalah bagian dari sindikat; dan kedua, uang yang dimilikinya adalah uang palsu karena bukan uang resmi yang dikeluarkan Bank Indonesia. Apapun yang terjadi, jelas itu sebuah penipuan. Korban sudah banyak berjatuhan, jangan sampai Anda ikut terjebak permainan licik seperti ini.

Jadi, berhati-hatilah bila menerima kabar tentang harga uang lama yang bombastis semacam itu. Bukannya untung, bisa-bisa malah buntung. Agar terhindar dari penipuan bermodus uang lama begini, ada baiknya Anda berkonsultasi dengan kolektor atau penjual uang lama yang lebih paham tentang uang lama. [eko/uanglama.com]

6 Agustus 2011

Kolektor Spesialis

Kolektor Spesialis

Dokter spesialis, itu sudah biasa. Bagaimana dengan kolektor atau numismatis spesialis? Jangan salah. Dalam dunia numismatik juga ada semacam spesialisasi di kalangan para kolektor. Kita sebut saja kolektor semacam ini sebagai kolektor spesialis.

Ya, seorang kolektor bisa dipastikan memiliki kecenderungan untuk lebih fokus mengoleksi uang lama berdasarkan seri atau jaman tertentu. Dengan alasan masing-masing, sang kolektor merasa lebih bergairah untuk memburu uang-uang lama yang paling disenanginya.

Lumrah Terjadi
Spesialisasi seperti ini bisa dibilang hal lumrah. Karena latar belakang dan selera masing-masing kolektor berbeda, tak heran jika kecenderungannya terhadap uang lama yang dikoleksi pun berbeda-beda pula.

Ambil contoh Panji Kumala. Kolektor muda asal Yogyakarta ini mengaku paling suka Seri Soedirman. Karena itu koleksi uang lamanya didominasi oleh uang kertas bergambar jenderal besar tersebut. Seri itu pula yang paling komplit diantara koleksi-koleksinya yang lain.

Kesukaan Panji pada Seri Soedirman setidaknya didasari pada tiga hal. Pertama, ia sangat mengagumi sosok Jenderal Soedirman. Menurut pendapatnya jenderal yang juga seorang anak pesantren ini patut dijadikan teladan atas kerendahan hati dan sikap ksatrianya. Kita tentu masih ingat bagaimana jenderal kelahiran Purbalingga ini tetap gigih memimpin gerilya sekalipun dalam kondisi sakit keras.

Kedua, Seri Soedirman terbilang paling lengkap pecahannya. Dari yang paling kecil Rp1, hingga pecahan terbesar Rp1.000. Total ada sembilan pecahan dalam seri tersebut, yakni pecahan Rp1, Rp2,5, Rp5, Rp10, Rp25, Rp50, Rp100, Rp500, dan Rp1.000.

Ketiga, meskipun terbilang lengkap dan banyak dicari, namun harga uang lama Seri Soedirman relatif lebih terjangkau dibanding seri-seri lainnya. Harga satu set lengkap Seri Soedirman dengan kondisi campuran antara XF hingga UNC tak sampai Rp 2 juta. Bandingkan dengan Seri Kebudayaan, misalnya.

Potensi Pasar
Lain lagi dengan Soegiarto, kolektor senior lainnya dari Yogyakarta. Meski awalnya rajin mengumpulkan uang kertas, namun selama beberapa tahun di era 1980-an ia hanya fokus berburu koin kuno. Saking getolnya berburu koin kuno, boleh dibilang ia merupakan kolektor koin kuno pertama di Indonesia.

Koleksi Giarto, panggilan akrabnya, ketika itu cukup lengkap. Meliputi koin-koin Belanda, koin VOC, sampai koin jaman kerajaan Majapahit. Pengetahuannya seputar koin kuno juga mumpuni. Tak heran jika banyak kolektor lain menjulukinya Raja Koin.

Ketertarikan Giarto pada koin kuno sebenarnya lebih didorong pada fakta bahwa koin kuno merupakan komoditi paling laris masa itu. Di saat harga logam dunia sedang tinggi-tingginya, koin kuno jadi barang dagangan yang sangat menguntungkan. Apalagi ia punya koneksi yang dapat langsung menghubungkannya ke kolektor-kolektor Eropa. Koneksi tersebut seorang kolektor asal Belanda yang menjadi dosennya di Sekolah Instrumentasi Gelas, Elektronika, dan Logam (SIGEL), Jakarta.

Bermodal koneksi tersebut, konsumen Giarto waktu itu malah banyak berasal dari luar negeri. Sayang, sekitar tahun 1983-an harga logam dunia jatuh. Giarto pun kehilangan banyak pesanan sampai akhirnya berhenti memburu koin kuno.

Koleksi Lebih Lengkap
Selain dua kolektor tersebut, kolektor-kolektor lain juga punya kecenderungan khusus pada uang lama seri tertentu. Misalnya lebih tertarik pada Seri Hewan, namun ada juga yang lebih tertarik pada Seri Wayang, Seri Soekarno, dll.

Biasanya kolektor semacam ini memiliki koleksi sangat lengkap. Mereka tak hanya mengoleksi berdasarkan pecahan atau nominal, tapi juga perbedaan tahun emisi, tandatangan gubernur bank sentral, bahkan perbedaan warna. Jadi, jangan heran jika kolektor spesialis seperti ini bisa menyimpan uang yang sama hingga beberapa lembar.

Sebagai contoh uang pecahan Rp2.000 bergambar Pangeran Antasari. Uang ini pertama kali dirilis tahun 2009, dan ketika dibuat jabatan Gubernur Bank Indonesia diisi oleh Deputi Gubernur Senior Miranda Gultom. Gubernurnya sendiri adalah Boediono. Namun karena Boediono mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden bersama Susilo Bambang Yudhoyono di Pemilihan Presiden, posisi Gubernur BI lowong dan untuk sementara diisi oleh Miranda.

Karena yang menandatangani uang resmi negara adalah gubernur atau pejabat Gubernur BI, secara otomatis uang pecahan Rp2.000 tahun emisi 2009 ditandatangani oleh Miranda Gultom. Ketika Pilpres selesai, SBY selaku presiden terpilih mengangkat Darmin Nasution sebagai Gubernur BI. Nah, ketika BI meluncurkan Rp2.000 emisi baru pada tahun 2010 dan 2011, yang menandatangani tentu saja Darmin Nasution.

Jadi, uang Rp2.000 tahun 2009 emisi 2009 ditandatangani Miranda Gultom, sedangkan emisi 2010 dan 2011 ditandatangani Darmin Nasution. Bagi kolektor awam, hal ini tidak berarti apa-apa karena nominal dan tampilan uangnya sama saja. Tapi bagi kolektor spesialis, perbedaan tandatangan seperti ini merupakan keunikan dan wajib dikoleksi. Maka jangan heran kalau ada kolektor yang menyimpan uang Rp2.000 tahun 2009 sampai dua lembar atau bahkan lebih. [eko/uanglama.com]

24 Desember 2010

The International Bank Notes Society (IBNS)

The International Bank Notes Society (IBNS)



KALAU kita melihat-lihat situs jual-beli uang milik bule alias yang berbahasa Inggris, rata-rata pemiliknya mencantumkan status sebagai member dari IBNS beserta sederet nomor keanggotaan. Sebenarnya apa sih IBNS yang merupakan singkatan dari The International Bank Notes Society itu? Berikut sedikit penjelasannya.

IBNS adalah sebuah organisasi nonprofit yang didirikan pada tahun 1961 di AS. Pendirian organisasi ini ditujukan untuk lebih memasyarakatkan pengetahuan seputar mata uang dunia. Dalam situs resminya, IBNS menyatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk mempromosikan, menstimulasi, serta meningkatkan study dan pengetahuan tentang mata-mata uang dunia. Termasuk di dalamnya sejarah mata uang dan pengetahuan yang bersifat saintifik.

Saat ini diperkirakan member IBNS telah mencapai angka 1.700 orang di sekitar 90 negara. Beberapa hal positif yang bisa diperoleh sebagai member IBNS antara lain adalah memperoleh jurnal yang berisi tentang isu dan pengetahuan terbaru seputar uang, terutama uang kertas. Benefit lain, member juga diberi direktori seluruh member beserta penjual uang lama terpercaya dari seluruh belahan dunia.

Dengan manfaat yang dijanjikan ini, tentu saja keanggotaan IBNS tidak gratis. Ada semacam iuran yang harus dibayar oleh member. IBNS membedakan membernya atas 4 kategori, yakni Individual, Group, Junior, dan Family. Untuk mendaftarkan diri di kategori Individual, calon member diwajibkan membayar sebesar $33.00. Individual adalah kategori khusus pendaftar perorangan.

Yang menarik, setiap tahun IBNS mengadakan pemilihan uang terbaik yang diberi titel "The IBNS Bank Notes of the Year". Pemilihan ini melibatkan seluruh uang kertas yang dikeluarkan di seluruh negara di dunia pada tahun sebelumnya. Penilaian diberikan antara lain atas tampilan uang. Untuk tahun 2009, gelar The IBNS Bank Notes of the Year diberikan untuk mata uang Samoa pecahan 20 tala. Uang ini mengalahkan delapan mata uang lain yang dinominasikan oleh member-member IBNS.

Penjelasan lebih lanjut tentang uang pemenang ini kita lanjutkan di posting berikutnya ya..? ^_^