14 September 2015

Seni berburu uang lama: Mengatur napas, menyusun strategi

Seni berburu uang lama: Mengatur napas, menyusun strategi

Wisnu Murti sedang menata dagangannya di Pasar Klitikhan Pakuncen, Wirobrajan, Yogyakarta. FOTO: Rachmat Sujianto/Bisnis.com

MENGOLEKSI uang lama memang sangat mengasyikkan. Mengutip pendapat Wisnu Murti, kolektor senior sekaligus penjual uang lama di Pasar Klithikan Wirobrajan, Yogyakarta, letak keasyikannya adalah saat kita hendak melengkapi satu seri tapi ternyata ada satu pecahan yang sangat susah didapatkan. Kesabaran dalam berburu satu pecahan itulah yang membuat perburuan uang lama menjadi asyik dan menantang.

Bayangkan kalau kita sudah punya, katakanlah, seluruh seri Sudirman kecuali pecahan Rp10.000. Segala daya dan upaya pasti kita kerahkan untuk mencari satu denominasi dalam seri tersebut agar komplit. Yang bikin sulit, bagia sebagian besar kolektor pemula uang tersebut bukanlah uang murah. Maka harus pintar-pintar mencari uang dengan kondisi bagus tetapi harganya tidak terlalu menguras kantong.

Keasyikan lain mengoleksi uang lama bagi kolektor pemula adalah saat jumlah koleksi semakin lama semakin banyak jumlahnya, serta semakin tinggi nilainya. Dari hanya beberapa lembar, lama-lama jumlah koleksi berlipat ganda hingga beralbum-album. Dari hanya mengoleksi ‘uang sayur’ seharga ribuan rupiah, lalu meningkat dengan mengoleksi uang berkelas seharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Peningkatan jumlah maupun nilai uang lama yang dikoleksi tersebut tentu membutuhkan proses. Bila diibaratkan lomba lari, mengoleksi uang lama adalah maraton, lari jarak jauh yang membutuhkan strategi tepat agar tak ‘kehabisan napas’ di tengah-tengah perlombaan. Kolektor paling senior sekali pun dituntut sabar dan harus pandai-pandai mengerem ambisinya kalau tak mau tersungkur di tengah jalan.

Sayangnya, kebanyakan kolektor pemula sering terlalu terburu nafsu dalam membeli koleksi baru. Alih-alih mengatur napas, mereka malah mengencangkan larinya karena tak sabar ingin cepat-cepat sampai ke tujuan. Setiap ditawari uang yang belum ia punya, pasti dibeli. Terkadang tak peduli dengan harga, yang penting kondisi oke. Ini ibarat sprint.

Menggunakan strategi sprint di lomba maraton jelas keputusan konyol. Akibatnya, tak heran bila banyak kolektor pemula yang hanya menekuni dunia numismatik seumur jagung.

Variasi Harga

Ada banyak alasan kenapa seorang kolektor musti meningkatkan kesabarannya dalam berburu uang lama. Salah satunya, harga uang lama tidak mempunyai standar baku. Oke, memang di katalog-katalog uang macam Katalog Uang Kertas Indonesia (KUKI) maupun Standard Catalog of World Paper Money terdapat panduan harga. Namun, ingat, harga tersebut bukan patokan resmi yang harus dipatuhi seluruh numismatis. Pasar uang lama yang sedemikian luas dan bebas memungkinkan terjadinya variasi harga sesuai kesepakatan penjual dan pembeli.

Satu hal lagi yang membuat katalog uang seolah tak berlaku adalah pergerakan barang di pasar dan permintaan. Jika permintaan banyak, uang yang sebenarnya berkategori sayur pun bisa berharga lebih bagus ketimbang yang seharusnya. Pun demikian jika satu uang tertentu mulai langka di pasaran, bisa dipastikan harganya menjadi melambung tinggi.

Sebagai contoh uang pecahan Rp10 tahun 1959 yang biasa diburu untuk keperluan mas kawin atau mahar nikah. Di KUKI 2005 maupun 2010, harga uang lama ini dalam kondisi UNC tak sampai Rp10.000. Tapi, coba lihat harganya di pasaran. Sebagian besar penjual mengecernya dengan harga minimal Rp20.000/lembar. Di Pemalang, saya malah pernah menemukan sebuah toko menjualnya seharga Rp50.000/lembar!


Ini uang sayur. Variasi harga lebih seru bisa ditemukan saat seorang kolektor mencari uang yang sedikit lebih berkelas. Ambil contoh uang Seri Wayang pecahan 10 gulden. Di pasaran harganya sangat variatif, sekali pun kondisi (grade) uang yang ditawarkan sama saja, yakni berkisar antara Very Good (VG) hingga Extremelty Fine (XF). Kalau tak hati-hati dan teliti, kolektor bisa saja membeli uang lama berkondisi lebih jelek tapi dengan harga lebih mahal. Ini biasa terjadi pada kolektor pemula.

Hal sama berlaku pada kolektor uang asing. Harga di Standard Catalog of World Paper Money atau Standard Catalog of World Coin bukanlah harga resmi, sehingga banderol yang dipatok pedagang berbeda-beda di pasaran. Jika Anda biasa berburu uang asing di situs lelang eBay, perbedaan harga ini dapat terlihat jelas.

Nah, karena terus-terusan membeli uang lama dengan harga tidak wajar, nilai koleksi jauh lebih rendah dari harga pasar. Saat hendak menjual, si kolektor bisa rugi meskipun harga uang lama cenderung naik dari waktu ke waktu.

Kondisi Finansial

Alasan lain kenapa seorang kolektor musti ekstra sabar dalam berburu uang lama adalah kondisi finansial. Mengoleksi uang lama membutuhkan dana besar, apalagi kalau kolektor tak membatasi apa saja yang hendak dikoleksi. Terus-menerus membeli uang lama tanpa memperhatikan keadaan ekonomi bisa membuat kolektor kehabisan uang dan akhirnya jatuh bangkrut.

Meski demikian, seseorang tak harus berkantong tebal untuk menjadi kolektor uang lama. Tak harus menjadi dokter seperti dr. Arifin di Jakarta, karena siapa pun dari latar belakang apa pun bisa menjadi kolektor kakap. Syaratnya adalah kesabaran tinggi dan didukung dengan manajemen finansial yang baik. Kalau main hantam kromo tanpa mempedulikan kas di kantong, terlebih tak diimbangi dengan menjual sebagian koleksi, harta seberapa pun tak akan cukup untuk memuaskan hasrat mengoleksi uang.

Berjalan beberapa bulan saja, koleksi milik kolektor seperti ini memang langsung banyak. Bahkan bisa mengungguli kolektor-kolektor yang sudah lebih lama 'bermain' uang kuno. Tapi seiring dengan itu keuangan dibuat limbung karena terus-menerus mengeluarkan uang, apalagi kalau sampai mengganggu ekonomi keluarga demi memuaskan ambisi akan koleksi tertentu. Ujung-ujungnya, uang yang sudah dikoleksi pun berganti dilepas satu demi satu.

Untuk itulah seorang kolektor dituntut pandai-pandai mengatur napas agar tak pingsan, atau bahkan ‘mati’, saat berburu uang lama.

Bagaimana pendapat Anda? Yuk, share di kolom komentar...

12 September 2015

Tertarik jualan uang lama? Begini asyiknya jadi kolekdol

Tertarik jualan uang lama? Begini asyiknya jadi kolekdol

USAHA jual-beli uang lama sudah saya lakoni sejak pertengahan 2009. Tepatnya setelah saya melakukan liputan soal hobi koleksi uang jaman dulu alias numismatik ke sejumlah kolektor Jogja. Dari liputan itulah, lha kok, saya ikut-ikutan kecemplung menjadi kolektor kecil-kecilan, sekaligus juga pedagang kecil-kecilan.

Waktu itu saya buta sama sekali soal uang lama. Tapi saya langsung menemukan chemistry saat mendengarkan cerita Mas Panji Kumala di rumahnya di kawasan Sagan, kisah Pak Sugiarto berburu koin hingga menyelami lautan di Indonesia Timur, serta Pak Whisnu Murti di lapaknya di Pasar Klithikan, Wirobrajan.

Ketertarikan pada uang lama semakin bertambah setelah saya menemukan forum numismatis di Kaskus serta membaca-baca sejumlah referensi online. Satu hal yang membuat saya tertarik, mengoleksi uang lama ternyata bisa jadi instrumen investasi alternatif. Sama halnya menyimpan emas.

Sarana Investasi Menarik

Begini penjelasan Mas Panji saat saya wawancarai untuk keperluan liputan di Harian Jogja waktu itu. Kalau kita menabung uang, katakanlah, Rp100.000 di bank, maka 1-2 tahun kemudian nilai uang tersebut justru berkurang. Apalagi jika tabungannya tak pernah ditambah, tak sampai setahun saldo rekening habis tak bersisa.

Menggunakan penjelasan agak keren, uang Rp100.000 tersebut bakal terus tergerus inflasi sehingga nilainya semakin turun dari waktu ke waktu. Ini dengan asumsi uang Rp100.000 masih bertahan di bank, tidak bertambah jumlahnya dan tidak berkurang.

Sekarang coba gunakan uang Rp100.000 itu untuk membeli uang lama pecahan, sebagai contoh saja, Rp10.000 tahun 1985. Waktu saya kecil, ini uang pecahan tertinggi. Cuma orang berduit yang di kantongnya ada lembaran uang bergambar RA Kartini ini. Saat menjumpai Mas Panji enam tahun lalu, harga selembar uang Rp10.000 tahun 1985 berkisar antara Rp25.000-Rp35.000 tergantung kondisinya. Katakanlah kita beli yang kondisi biasa-biasa saja seharga Rp25.000/lembar, maka dengan uang Rp100.000 kita bisa memiliki 4 lembar.

Simpan keempat uang lama tersebut barang 1-2 tahun, maka nilainya bisa dipastikan bertambah. Seberapa banyak? Sebagai gambaran, uang Rp10.000 tahun 1985 kondisi tengah alias tak terlalu bagus dan juga tak terlalu jelek harganya sudah mencapai Rp40.000/lembar saat ini. Memang peningkatannya tak banyak sih, tapi setidaknya kita tak rugi seperti halnya menabung di bank.

Kalau ingin yang return of investment-nya cepat, belikan uang mahar alias uang-uang lama yang biasa digunakan sebagai mas kawin. Asal dapat menemukan pedagang yang pas, kita bisa mendapatkan harga yang sangat terjangkau untuk uang lama pecahan Rp1, Rp5, atau Rp10, untuk kemudian dijual secara eceran dengan harga 2-3 kali lipatnya.


Modal Minimal Hasil Maksimal

Saat kembali serius berjualan uang lama awal Januari 2012 lalu, modal saya tak sampai Rp150.000. Uang sebesar itu saya belikan uang lama pecahan Rp1 tahun 1961 dan Rp10 tahun 1959 masing-masing 20 lembar. Boleh percaya boleh tidak, akhir bulan itu juga saya bisa mengantongi keuntungan bersih Rp500.000 lebih sedikit. Padahal saya tak menjualnya mahal-mahal. Hanya saja perputarannya tergolong cepat sehingga uang Rp150.000 tadi menghasilkan penjualan hingga 10 kali lipatnya.

Mundur ke akhir 2009, saya membeli 3 lembar uang lama pecahan Rp1.000 tahun 1952 seharga Rp 1 juta sudah termasuk ongkos kirim. Ketiga lembar uang itu dalam kondisi baik. Pakai hitung-hitungan kasar saja, Rp 1 juta dibagi tiga berarti harga per lembar uang itu sekitar Rp340.000. Mahal? Tunggu dulu. Selembar dari ketiga uang itu dibeli seseorang di Surabaya seharga Rp550.000 hanya berselang sepekan setelah saya pegang. Lalu selembar lagi terjual seharga $49.00 di eBay. Waktu itu kurs rupiah masih di angka Rp9.500/dolar.

Sisa selembar lagi saya simpan hingga tahun 2013, sebelum dibeli seorang kolektor asal Jambi seharga Rp850.000. Eh, hanya selang beberapa bulan setelag itu, saya dengar uang Rp1.000 tahun 1952 dengan kondisi begitu dihargai Rp 1,5 juta. Wow!

Saya juga sempat membeli 2 lembar uang Soeharto polymer dengan nomor seri urut seharga hampir Rp200.000. Saya pikir itu terlalu mahal. Nyatanya hanya sekitar 2 pekan kemudian saya bisa menjual kedua lembar uang itu seharga Rp250.000. Dapat cuan Rp100.000 deh. Lumayan.

Sejak itulah saya semakin meminati sekaligus menikmati berjualan uang lama. Sampai detik ini.

Beberapa pembeli sering menganggap saya kolektor uang lama. Hmmm, padahal sebenarnya saya hanyalah seorang kolekdol. Maksudnya, saya memang mengoleksi uang lama. Tapi kalau ada yang mau membeli ya saya dol (=jual, Jawa) saja. Hahaha...

10 September 2015

Pria ini buat sofa, meja, hingga boneka dari uang koin

Pria ini buat sofa, meja, hingga boneka dari uang koin


CORAK grafis nan menarik yang tercetak pada uang membuat seorang pria asal Vermont, Amerika Serikat, tergerak untuk memanfaatkannya menjadi sebuah karya seni. Ya, pemilik sebuah galeri furnitur khusus ini membuat aneka macam benda dari uang, baik uang kertas maupun uang koin.

Sedikit mengundang perdebatan memang, mengingat uang adalah benda bernilai tinggi dan merupakan tanda pembayaran yang sah. Namun dalam perjalanannya Johnny Swing mendapat masukan yang membuatnya semakin yakin untuk terus menggunakan uang sebagai bahan baku produk-produknya.

Kini, ia dikenal sebagai bos furnitur koin.

Swing adalah lulusan sekolah seni Skidmore College di Saratoga Springs, New York. Ia juga sempat menempuh pendidikan di Skowhegan School of Painting and Sculpture, sebuah program residensi selama sembilan pekan bagi para peminat seni. Di sekolah yang dibentuk sejak 1946 itulah Swing mengasah kemampuan seni rupanya.

Awalnya Swing memproduksi berbagai furnitur dari kayu. Lalu dalam satu kesempatan ia mencoba menggunakan koin sebagai bahan baku pembuatan sofa. Ia mengaku terinspirasi dari permainan masa kecilnya, di antaranya Bobby Trap. Ini sebenarnya tidak terlalu tepat dikategorikan sebagai mainan. Sebab Bobby Trap adalah sebuah jebakan yang didesain sedemikian rupa untuk melukai sampai membunuh seseorang.

Di masa kanak-kanak, Swing menggunakan semacam Bobby Trap untuk mengagetkan teman bermainnya. Jebakan ini terbuat dari bahan logam, membuat Swing tertarik menguji coba membuat sebuah benda dari bahan koin logam. Maka, dibuatlah sebuah sofa.

Swing menggunakan koin yang terbuat dari bahan nikel. Ia menghabiskan waktu hingga berhari-hari untuk mengelas puluhan ribu koin menjadi satu setelah rangka sofa terbentuk. Hasilnya membuat ia ketagihan untuk membuat benda serupa lebih banyak lagi dan lagi.


Dari sekedar digunakan sendiri, Swing lantas terpikir untuk menjual hasil karyanya tersebut. Harganya tidak main-main. Sebab, selain waktu pengerjaannya yang lama - sebuah sofa berbahan baku 35.000 koin bahkan pernah menghabiskan waktu selama 300 jam untuk mengelas seluruhnya menjadi satu, koin yang dipergunakan merupakan uang yang masih berlaku. Toh, benda produksi Swing laku keras lantaran unik.

Selain dijual secara langsung, Swing kemudian memanfaatkan media internet untuk mempromosikan produk-produknya. Ia membuat situs www.johnnyswing.com untuk memajang hasil karyanya sekaligus menawarkannya pada siapapun yang berminat. Dalam situs tersebut data-data sebuah produk tersaji komplit. Mulai dari ukuran, tahun pembuatan, nominal koin yang digunakan, bahan koin yang menjadi bahan baku, serta jenis besi pelengkap.

Ada pula karya Swing yang dilelang. Salah satunya adalah sebuah sofa seberat lebih dari 56 kg yang terjual seharga 100.000 dolar AS di balai lelang Sotheby pada Desember 2009.

Koin menjadi bahan baku favorit Swing. Ia hanya perlu mengelas kepingan-kepingan uang logam tersebut mengikuti sebuah rancangan yang telah ia buat, lalu menyatukannya dengan sebuah rangka besi sebagai kaki-kaki meja atau sofa.

Meski demikian ia juga banyak membuat produk-produk kerajinan dari uang kertas. Selain bentuknya yang beragam dan unik seperti boneka beruang ala Teddy Bear, babi, dan bantal, uang-uang kertas hijau bertuliskan "dollar" yang menjadi bahan baku tampak mencolok dan mencuri perhatian.


Apakah menggunakan uang sebagai bahan baku furnitur tidak menyalahi aturan di AS? Sebagai perbandingan, di Indonesia tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan pada fisik uang koin atau kertas dilarang oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2013 tentang Mata Uang.

Sempat terlontar kekhawatiran di benak Swing mengenai hal tersebut. Terlebih ada yang mengatakan padanya bahwa menggunakan uang sebagai karya seni adalah tindakan ilegal. Tapi kemudian ia bertemu dengan seorang petugas Secret Service yang meyakinkannya bahwa itu adalah uang miliknya sendiri dan karenanya bebas untuk digunakan, termasuk menjadikannya karya seni sesuka hatinya.

Kini, Johnny Swing dikenal sebagai rajanya Furnitur Koin. Situsnya pun ia beri judul Coin Furniture.