COBA bandingkan tampilan uang kertas dengan koin, rasanya uang kertas lebih menarik dipandang. Gambar-gambar di uang kertas cantik serta berwarna-warni, sedangkan koin hanya berupa gambar timbul yang warnanya sama dengan bahannya. Kalau uangnya dibuat dari campuran perak, warna gambarnya ya hanya warna perak.
Lalu bandingkan pula cara penyimpanan kedua jenis uang ini. Uang kertas yang ringan bisa ditata rapi di album dan disimpan bertumpuk-tumpuk. Sedangkan meyimpan koin butuh perlakuan khusus agar tampilannya tetap bagus. Karena itulah kebanyakan kolektor uang lama lebih tertarik pada uang kertas. Karena itu pula tak banyak numismatis yang paham betul tentang koin.
Diantara yang sedikit itu adalah Soegiarto. Kolektor senior kelahiran Bandung ini telah diakui di kalangan numismatis Yogyakarta, Bandung dan Jakarta sebagai rajanya koin kuno. Ajukan pertanyaan apa saja seputar uang kuno, ia akan dengan sangat mudah menjelaskannya secara lancar dan terperinci. Dan, bisa dipastikan Anda dibuat betah membicarakan koin kuno selama berjam-jam.
Begitu juga yang dirasakan Eko Nurhuda dari uanglama.com saat berbincang-bincang dengannya di Pasar Klithikan Wirobrajan, Yogyakarta, pada Rabu, 27 Mei 2009.
Pemburu Koin
Pengetahuan luas tentang koin kuno didapat Soegiarto saat sedang getol-getolnya berburu koin kuno di era 1980-an. Demi memburu koin incarannya, ia rela menempuh perjalanan jauh. Dari Bandung, ia sering bepergian ke Jakarta dan seantero Jawa demi memperoleh koin kuno. Ia bahkan pernah menyelami Laut Sulawesi untuk mencari koin kuno yang dikabarkan lama tenggelam di sana.
Kegetolan Giarto, panggilan akrabnya, bukannya tanpa alasan. Ia sudah berbisnis jual-beli koin kuno saat masih muda belia, sebuah bisnis yang tak banyak dilakukan orang waktu itu. Bisnis Giarto berkembang pesat karena harga logam dunia kala itu tengah bagus. Dari hanya melayani pasaran dalam negeri, ia kemudian rutin mengirim pesanan hingga ke Eropa dan Australia.
Sejak kecil Giarto sudah hobi mengoleksi uang. Ia mengaku suka pada gambar-gambar uang. Karena itu, setiap mendapat uang yang masih baru ia selalu menyimpannya di bawah tumpukan baju di lemari. Ia juga mulai mengoleksi uang lama yang di masa itu masih mudah didapat dan harganya belum terlalu tinggi.
Ditularkan Dosen
Perkenalan Giarto dengan koin bermula saat ia studi di Sekolah Instrumentasi Gelas, Elektronika dan Logam (SIGEL) di Jakarta. Salah seorang dosennya yang berkebangsaan Belanda adalah kolektor koin kuno. Dari dosennya itulah Giarto tahu kalau koin kuno bernilai sangat tinggi di mata kolektor.
Otak bisnis Giarto langsung berjalan. Koin kuno harganya mahal di mata kolektor, sedangkan dosennya sendiri adalah kolektor. Selain dikoleksi sendiri, sang dosen juga menjual koin kuno yang ia punya ke sesama kolektor di Belanda. Kesimpulannya, Giarto punya peluang usaha di depan mata: jual-beli koin kuno. Bukankah dosennya bisa dijadikan batu loncatan untuk merintis usaha tersebut?
Maka mulailah Giarto berburu koin kuno. Mula-mula ia hanya memenuhi pesanan sang dosen Belanda tadi. Seiring berjalannya waktu, lama-kelamaan ia kenal banyak kolektor lain dan mulai melebarkan sayap bisnisnya hingga mampu ekspor ke mancanegara.
Sayang, kejatuhan nilai jual logam dunia di tahun 1983 membuat bisnisnya merosot drastis. Ia pun meninggalkan usaha jual-beli koin kuno. Bahkan demi menyambung hidup ia musti merelakan satu set koleksi koin kuno kesayangannya dijual ke seorang kolektor Belanda.
Bertahun-tahun kemudian Giarto meninggalkan dunia numismatik. Tuntutan ekonomi membuatnya harus mau bekerja serabutan dan melupakan koin kuno.
Setelah lama menghilang, tahun 2006 Giarto yang sudah tinggal di Yogyakarta kembali berkecimpung di dunia numismatik. Comeback-nya ini dipicu oleh perkenalannya dengan beberapa pedagang uang lama di Pasar Klithikan dan sebelah utara Pasar Beringharjo. Awalnya ia hanya ingin berbisnis jual-beli uang lama dengan menjadikan para penjual di pasar-pasar tersebut sebagai mitra. Namun pada akhirnya ia juga kembali menjadi kolektor. [eko/uanglama.com]
Catatan: Dikembangkan dari artikel Belajar Sejarah lewat Uang di rubrik Klangenan, Harian Jogja edisi Minggu Legi, 7 Juni 2009. Merupakan hasil liputan Eko Nurhuda saat magang sebagai reporter koran tersebut.