16 Agustus 2011

Soegiarto, Rajanya Koin Kuno

Soegiarto, Rajanya Koin Kuno



COBA bandingkan tampilan uang kertas dengan koin, rasanya uang kertas lebih menarik dipandang. Gambar-gambar di uang kertas cantik serta berwarna-warni, sedangkan koin hanya berupa gambar timbul yang warnanya sama dengan bahannya. Kalau uangnya dibuat dari campuran perak, warna gambarnya ya hanya warna perak.

Lalu bandingkan pula cara penyimpanan kedua jenis uang ini. Uang kertas yang ringan bisa ditata rapi di album dan disimpan bertumpuk-tumpuk. Sedangkan meyimpan koin butuh perlakuan khusus agar tampilannya tetap bagus. Karena itulah kebanyakan kolektor uang lama lebih tertarik pada uang kertas. Karena itu pula tak banyak numismatis yang paham betul tentang koin.

Diantara yang sedikit itu adalah Soegiarto. Kolektor senior kelahiran Bandung ini telah diakui di kalangan numismatis Yogyakarta, Bandung dan Jakarta sebagai rajanya koin kuno. Ajukan pertanyaan apa saja seputar uang kuno, ia akan dengan sangat mudah menjelaskannya secara lancar dan terperinci. Dan, bisa dipastikan Anda dibuat betah membicarakan koin kuno selama berjam-jam.

Begitu juga yang dirasakan Eko Nurhuda dari uanglama.com saat berbincang-bincang dengannya di Pasar Klithikan Wirobrajan, Yogyakarta, pada Rabu, 27 Mei 2009.

Pemburu Koin
Pengetahuan luas tentang koin kuno didapat Soegiarto saat sedang getol-getolnya berburu koin kuno di era 1980-an. Demi memburu koin incarannya, ia rela menempuh perjalanan jauh. Dari Bandung, ia sering bepergian ke Jakarta dan seantero Jawa demi memperoleh koin kuno. Ia bahkan pernah menyelami Laut Sulawesi untuk mencari koin kuno yang dikabarkan lama tenggelam di sana.

Kegetolan Giarto, panggilan akrabnya, bukannya tanpa alasan. Ia sudah berbisnis jual-beli koin kuno saat masih muda belia, sebuah bisnis yang tak banyak dilakukan orang waktu itu. Bisnis Giarto berkembang pesat karena harga logam dunia kala itu tengah bagus. Dari hanya melayani pasaran dalam negeri, ia kemudian rutin mengirim pesanan hingga ke Eropa dan Australia.

Sejak kecil Giarto sudah hobi mengoleksi uang. Ia mengaku suka pada gambar-gambar uang. Karena itu, setiap mendapat uang yang masih baru ia selalu menyimpannya di bawah tumpukan baju di lemari. Ia juga mulai mengoleksi uang lama yang di masa itu masih mudah didapat dan harganya belum terlalu tinggi.

Ditularkan Dosen
Perkenalan Giarto dengan koin bermula saat ia studi di Sekolah Instrumentasi Gelas, Elektronika dan Logam (SIGEL) di Jakarta. Salah seorang dosennya yang berkebangsaan Belanda adalah kolektor koin kuno. Dari dosennya itulah Giarto tahu kalau koin kuno bernilai sangat tinggi di mata kolektor.

Otak bisnis Giarto langsung berjalan. Koin kuno harganya mahal di mata kolektor, sedangkan dosennya sendiri adalah kolektor. Selain dikoleksi sendiri, sang dosen juga menjual koin kuno yang ia punya ke sesama kolektor di Belanda. Kesimpulannya, Giarto punya peluang usaha di depan mata: jual-beli koin kuno. Bukankah dosennya bisa dijadikan batu loncatan untuk merintis usaha tersebut?

Maka mulailah Giarto berburu koin kuno. Mula-mula ia hanya memenuhi pesanan sang dosen Belanda tadi. Seiring berjalannya waktu, lama-kelamaan ia kenal banyak kolektor lain dan mulai melebarkan sayap bisnisnya hingga mampu ekspor ke mancanegara.

Sayang, kejatuhan nilai jual logam dunia di tahun 1983 membuat bisnisnya merosot drastis. Ia pun meninggalkan usaha jual-beli koin kuno. Bahkan demi menyambung hidup ia musti merelakan satu set koleksi koin kuno kesayangannya dijual ke seorang kolektor Belanda.

Bertahun-tahun kemudian Giarto meninggalkan dunia numismatik. Tuntutan ekonomi membuatnya harus mau bekerja serabutan dan melupakan koin kuno.

Setelah lama menghilang, tahun 2006 Giarto yang sudah tinggal di Yogyakarta kembali berkecimpung di dunia numismatik. Comeback-nya ini dipicu oleh perkenalannya dengan beberapa pedagang uang lama di Pasar Klithikan dan sebelah utara Pasar Beringharjo. Awalnya ia hanya ingin berbisnis jual-beli uang lama dengan menjadikan para penjual di pasar-pasar tersebut sebagai mitra. Namun pada akhirnya ia juga kembali menjadi kolektor. [eko/uanglama.com]

Catatan: Dikembangkan dari artikel Belajar Sejarah lewat Uang di rubrik Klangenan, Harian Jogja edisi Minggu Legi, 7 Juni 2009. Merupakan hasil liputan Eko Nurhuda saat magang sebagai reporter koran tersebut.

11 Agustus 2011

Penipuan di Dunia Numismatik

Penipuan di Dunia Numismatik

SEJAK meluncurkan blogstore UangLama.com pada pertengahan 2009 lalu, saya sering mendapat email, SMS, bahkan telepon aneh-aneh. Bagaimana anehnya? Sebagai contoh, ada seseorang menelepon menanyakan uang kertas Rp100 tahun 1974. Tanpa membuka katalog pun saya ingat betul kalau uang yang ditanyakan itu tidak ada. Tapi si Bapak ngeyel. Ia bahkan berpesan untuk segera menghubunginya bila saya sudah dapat uang yang dimaksud.

Lalu ada lagi seorang bapak dari Kalimantan menanyakan uang pecahan Rp100 tahun 1992 bergambar kapal layar. Mulanya saya kira yang dimaksud uang Rp100 bergambar perahu phinisi. Tapi ternyata ia benar-benar mencari Rp100 bergambar kapal layar, bukan perahu phinisi. Usut punya usut, rupanya si Bapak mendapat info kalau bisa memperoleh uang itu bakal kaya raya karena selembar dihargai jutaan rupiah.

Alhasil, si bapak pun sempat merugi setelah terlanjur membeli 10 gepok/bendel uang Rp100 tahun 1992 yang dikiranya uang kapal layar.

Pak Wisnu, kolektor senior sekaligus penjual uang lama yang membuka lapak di Pasar Klithikan Wirobrajan, Yogyakarta, punya cerita lebih seru. Ia sangat sering didatangi orang yang menanyakan uang yang tidak pernah ada. Seperti uang Rp100 kertas tahun 1991, uang logam bergambar Soekarno, dll. Karena uang-uang tersebut memang tidak pernah ada, Pak Wisnu memberi penjelasan pada orang sambil menunjukkan katalog uang kertas.

Busa Mulut
Fenomena apa ini? Beberapa kolektor dan penjual uang lama yang saya tanyai tentang masalah ini kompak berkata kalau hal tersebut ulah sindikat. Entah sindikat apa, yang jelas mereka menyebarkan berita bohong dengan iming-iming kekayaan. Modusnya, mereka meminta tolong ke sebanyak mungkin orang untuk mencarikan uang tertentu, katakanlah uang Rp100 kapal layar. Nah, kepada orang-orang tersebut mereka bilang akan membelinya dengan harga sangat tinggi, biasanya sampai kisaran jutaan rupiah per lembar.

Mendengar tingginya harga yang dijanjikan, jelas banyak orang kemudian tergiur dan mencari-cari uang yang dimaksud. Tapi tentu saja mereka tidak akan pernah mendapatkannya karena uang tersebut memang tidak pernah dicetak oleh Bank Indonesia. Setelah capek berburu dengan hasil nol, orang-orang yang mencari ini kemudian digiring pada opini bahwa uang yang dicari itu memang benar-benar langka, karena itulah harganya sangat mahal. Puncaknya, para korban lantas diarahkan untuk membeli ke seseorang yang memiliki uang dimaksud.

Kalau sudah begini, kemungkinan penipuannya ada dua. Pertama, si pemilik uang tersebut adalah bagian dari sindikat; dan kedua, uang yang dimilikinya adalah uang palsu karena bukan uang resmi yang dikeluarkan Bank Indonesia. Apapun yang terjadi, jelas itu sebuah penipuan. Korban sudah banyak berjatuhan, jangan sampai Anda ikut terjebak permainan licik seperti ini.

Jadi, berhati-hatilah bila menerima kabar tentang harga uang lama yang bombastis semacam itu. Bukannya untung, bisa-bisa malah buntung. Agar terhindar dari penipuan bermodus uang lama begini, ada baiknya Anda berkonsultasi dengan kolektor atau penjual uang lama yang lebih paham tentang uang lama. [eko/uanglama.com]

6 Agustus 2011

Kolektor Spesialis

Kolektor Spesialis

Dokter spesialis, itu sudah biasa. Bagaimana dengan kolektor atau numismatis spesialis? Jangan salah. Dalam dunia numismatik juga ada semacam spesialisasi di kalangan para kolektor. Kita sebut saja kolektor semacam ini sebagai kolektor spesialis.

Ya, seorang kolektor bisa dipastikan memiliki kecenderungan untuk lebih fokus mengoleksi uang lama berdasarkan seri atau jaman tertentu. Dengan alasan masing-masing, sang kolektor merasa lebih bergairah untuk memburu uang-uang lama yang paling disenanginya.

Lumrah Terjadi
Spesialisasi seperti ini bisa dibilang hal lumrah. Karena latar belakang dan selera masing-masing kolektor berbeda, tak heran jika kecenderungannya terhadap uang lama yang dikoleksi pun berbeda-beda pula.

Ambil contoh Panji Kumala. Kolektor muda asal Yogyakarta ini mengaku paling suka Seri Soedirman. Karena itu koleksi uang lamanya didominasi oleh uang kertas bergambar jenderal besar tersebut. Seri itu pula yang paling komplit diantara koleksi-koleksinya yang lain.

Kesukaan Panji pada Seri Soedirman setidaknya didasari pada tiga hal. Pertama, ia sangat mengagumi sosok Jenderal Soedirman. Menurut pendapatnya jenderal yang juga seorang anak pesantren ini patut dijadikan teladan atas kerendahan hati dan sikap ksatrianya. Kita tentu masih ingat bagaimana jenderal kelahiran Purbalingga ini tetap gigih memimpin gerilya sekalipun dalam kondisi sakit keras.

Kedua, Seri Soedirman terbilang paling lengkap pecahannya. Dari yang paling kecil Rp1, hingga pecahan terbesar Rp1.000. Total ada sembilan pecahan dalam seri tersebut, yakni pecahan Rp1, Rp2,5, Rp5, Rp10, Rp25, Rp50, Rp100, Rp500, dan Rp1.000.

Ketiga, meskipun terbilang lengkap dan banyak dicari, namun harga uang lama Seri Soedirman relatif lebih terjangkau dibanding seri-seri lainnya. Harga satu set lengkap Seri Soedirman dengan kondisi campuran antara XF hingga UNC tak sampai Rp 2 juta. Bandingkan dengan Seri Kebudayaan, misalnya.

Potensi Pasar
Lain lagi dengan Soegiarto, kolektor senior lainnya dari Yogyakarta. Meski awalnya rajin mengumpulkan uang kertas, namun selama beberapa tahun di era 1980-an ia hanya fokus berburu koin kuno. Saking getolnya berburu koin kuno, boleh dibilang ia merupakan kolektor koin kuno pertama di Indonesia.

Koleksi Giarto, panggilan akrabnya, ketika itu cukup lengkap. Meliputi koin-koin Belanda, koin VOC, sampai koin jaman kerajaan Majapahit. Pengetahuannya seputar koin kuno juga mumpuni. Tak heran jika banyak kolektor lain menjulukinya Raja Koin.

Ketertarikan Giarto pada koin kuno sebenarnya lebih didorong pada fakta bahwa koin kuno merupakan komoditi paling laris masa itu. Di saat harga logam dunia sedang tinggi-tingginya, koin kuno jadi barang dagangan yang sangat menguntungkan. Apalagi ia punya koneksi yang dapat langsung menghubungkannya ke kolektor-kolektor Eropa. Koneksi tersebut seorang kolektor asal Belanda yang menjadi dosennya di Sekolah Instrumentasi Gelas, Elektronika, dan Logam (SIGEL), Jakarta.

Bermodal koneksi tersebut, konsumen Giarto waktu itu malah banyak berasal dari luar negeri. Sayang, sekitar tahun 1983-an harga logam dunia jatuh. Giarto pun kehilangan banyak pesanan sampai akhirnya berhenti memburu koin kuno.

Koleksi Lebih Lengkap
Selain dua kolektor tersebut, kolektor-kolektor lain juga punya kecenderungan khusus pada uang lama seri tertentu. Misalnya lebih tertarik pada Seri Hewan, namun ada juga yang lebih tertarik pada Seri Wayang, Seri Soekarno, dll.

Biasanya kolektor semacam ini memiliki koleksi sangat lengkap. Mereka tak hanya mengoleksi berdasarkan pecahan atau nominal, tapi juga perbedaan tahun emisi, tandatangan gubernur bank sentral, bahkan perbedaan warna. Jadi, jangan heran jika kolektor spesialis seperti ini bisa menyimpan uang yang sama hingga beberapa lembar.

Sebagai contoh uang pecahan Rp2.000 bergambar Pangeran Antasari. Uang ini pertama kali dirilis tahun 2009, dan ketika dibuat jabatan Gubernur Bank Indonesia diisi oleh Deputi Gubernur Senior Miranda Gultom. Gubernurnya sendiri adalah Boediono. Namun karena Boediono mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden bersama Susilo Bambang Yudhoyono di Pemilihan Presiden, posisi Gubernur BI lowong dan untuk sementara diisi oleh Miranda.

Karena yang menandatangani uang resmi negara adalah gubernur atau pejabat Gubernur BI, secara otomatis uang pecahan Rp2.000 tahun emisi 2009 ditandatangani oleh Miranda Gultom. Ketika Pilpres selesai, SBY selaku presiden terpilih mengangkat Darmin Nasution sebagai Gubernur BI. Nah, ketika BI meluncurkan Rp2.000 emisi baru pada tahun 2010 dan 2011, yang menandatangani tentu saja Darmin Nasution.

Jadi, uang Rp2.000 tahun 2009 emisi 2009 ditandatangani Miranda Gultom, sedangkan emisi 2010 dan 2011 ditandatangani Darmin Nasution. Bagi kolektor awam, hal ini tidak berarti apa-apa karena nominal dan tampilan uangnya sama saja. Tapi bagi kolektor spesialis, perbedaan tandatangan seperti ini merupakan keunikan dan wajib dikoleksi. Maka jangan heran kalau ada kolektor yang menyimpan uang Rp2.000 tahun 2009 sampai dua lembar atau bahkan lebih. [eko/uanglama.com]

1 Agustus 2011

Belajar Sejarah lewat Uang Lama

Belajar Sejarah lewat Uang Lama

NAMANYA Panji Kumala. Usianya masih muda, baru menginjak kepala tiga. Namun hobinya di luar kebiasaan orang-orang muda seusianya, yakni mengoleksi uang lama. Hobi tersebut sudah ia jalani sejak Mei 2008. Ia bahkan masih ingat betul tanggal persisnya mulai mengoleksi uang lama: 8 Mei 2008.

Hanya berselang setahun kemudian koleksi Panji sudah terbilang lengkap. Saat berbincang-bincang dengan Eko Nurhuda dari uanglama.com di kediamannya yang terletak di kawasan Mrican, Yogyakarta, Rabu (20/5/2009), tak lupa ia menunjukkan koleksi-koleksinya.

Waktu itu ia mengeluarkan tiga album besar, salah satunya berisi uang lama seri Soedirman lengkap. Selain itu ada pula beberapa kotak yang salah satunya berisi uang lama jaman pendudukan Jepang. Rupanya uang Jepang tersebut item andalannya di situs lelang eBay.

Berawal dari eBay
"Koleksi saya yang tertua berumur 2000 tahun," katanya. Uang berusia dua abad tersebut berbentuk sebuah koin yang dipakai sebagai alat tukar di daerah Timur Tengah pada jaman Kerajaan Romawi. Koleksi tersebut ia beli di eBay. Menurut penjualnya, uang yang diberi nama Widow's Mite itu digunakan di kala Yesus Kristus masih hidup.

Sebelum terjun di dunia numismatik, Panji aktif di sebuah perusahaan multilevel marketing asal Cina. Seorang adiknya bahkan membuka stokist yang masih aktif hingga sekarang.

Perkenalan Panji dengan uang lama terbilang tidak sengaja. Waktu itu ia baru saja mengenal eBay di internet. Di tengah keasyikannya mempelajari fitur dan cara kerja eBay, secara kebetulan ia menemukan penjual uang lama. Beberapa penjual bahkan menawarkan uang-uang lama Indonesia.

Merasa tertarik, ia lantas mulai membaca-baca referensi seputar uang lama dan dunia numismatik. Tak lama berselang ia pun membeli koleksi pertamanya, yakni (uang apa?)

Bernilai Sejarah
Menurut alumni Akuntansi STIE YKPN ini, ketertarikannya pada uang lama bukan sekedar karena unik dan kuno, tapi juga nilai sejarah yang dikandungnya. "Kita bisa mengenal sejarah bangsa ini melalui uang, karena tiap jaman uangnya berbeda-beda," katanya.

Contohnya, tak banyak generasi sekarang yang tahu kalau di tahun 1945-1950 sempat beredar uang-uang daerah. Uang yang beredar di Jawa, misalnya, berbeda dengan uang yang beredar di Sumatera. Bahkan uang di Jambi berbeda dengan uang di Bukittinggi, Sumatera Barat, sekalipun sama-sama terletak di Pulau Sumatera.

Fakta menarik lain yang tak banyak diketahui umum, di era tersebut beredar empat mata uang berbeda. Tiga kekuatan yang saling berebut pengaruh di bumi Nusantara waktu itu sama-sama mengeluarkan uang untuk menunjukkan dominasinya. Akibatnya, Indonesia yang baru merdeka dilanda inflasi hebat.

Ketika Jepang menjajah Indonesia, digunakanlah uang Jepang. Padahal uang Hindia Belanda yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank masih banyak digunakan. Otomatis ada dua mata uang yang beredar di Indonesia saat itu, yakni uang Jepang dan uang De Javasche Bank.

Saat Jepang menyerah kepada sekutu dan Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, uang Jepang masih berlaku. Sementara itu, Allied Forces for Netherlands East Indies (AFNEI), atau lebih dikenal sebagai NICA, juga mengeluarkan mata uang untuk membiayai seluruh kegiatannya saat mengambil alih kekuasaan atas Indonesia dari Jepang. Jadilah ada tiga mata uang sekaligus yang beredar di masyarakat.

Berhubung ketiga mata uang tersebut tidak dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia, peredarannya tidak terkontrol. Akibatnya, perekonomian negara kacau balau dan Pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa. Protes keras yang dilayangkan ke AFNEI sama sekali tidak ditanggapi.

Melihat kondisi ini, Pemerintah RI yang baru berdiri mengambil sikap. Demi menyelamatkan perekonomian negara sekaligus menanamkan semangat nasionalisme pada rakyatnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Uang tersebut mulai berlaku sejak 26 Oktober 1946. Sejak itu pula Pemerintah menyatakan uang Jepang dan uang De Javasche Bank tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Tampilan Gambar Memikat
Berkat hobi barunya itu pulalah Panji jadi menyukai sejarah. "Padahal saya dulu tidak suka pelajaran sejarah," ujarnya sambil tersenyum.

Hal lain dari uang lama yang menarik hati Panji adalah keindahan tampilannya. Gambar-gambar uang tersebut baginya merupakan sebuah karya seni tinggi, tak ubahnya lukisan karya seniman.

Uang lama yang gambarnya paling indah menurut Panji adalah seri wayang, sebutan bagi uang terbitan De Javasche Bank yang mulai beredar di era 1930-an. Sesuai namanya, uang-uang dalam seri wayang bergambar tokoh-tokoh pewayangan yang diperankan oleh para seniman wayang orang. Karena keistimewaan inilah seri wayang menjadi koleksi favorit para kolektor, membuatnya banyak diburu sekaligus melambungkan harganya. [eko/uanglama.com]

Catatan: Dikembangkan dari artikel Belajar Sejarah lewat Uang di rubrik Klangenan, Harian Jogja, edisi Minggu Legi, 7 Juni 2009. Merupakan hasil liputan Eko Nurhuda saat magang sebagai reporter koran tersebut.